Istilah “era digital” mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Bahkan kita sudah hidup di dalamnya. Bagaimana tidak jika kita sudah memanfaatkan perangkat dan teknologi baru dalam kehidupan kita sehari-hari? Pembaruan teknologi dan digitalisasi memungkinkan dan mempermudah manusia melakukan banyak hal, dalam waktu yang bersamaan, tanpa harus pusing mengakali jarak dan ruang. Banyak perusahaan yang berjuang mengatasi trasnformasi digital, tak terkecuali industri kesehatan.
Seperti yang kita amini, produk layanan kesehatan tidak selalu produk yang kita inginkan, tapi mau tidak mau kita butuhkan. Dengan sifatnya yang inelastis demikian, industri kesehatan ditantang untuk memberikan kastamernya sebuah pengalaman berbelanja barang yang sebenarnya tidak diinginkan tetapi tetap memberikan kesan positif. Pelanggan pun mencari layanan yang dapat menyelesaikan masalah mereka dan menyediakan produk atau jasa lebih cepat dari sebelumnya. Menghadapi tantangan ini, penyedia layanan kesehatan perlu memastikan bahwa mereka mengumpulkan dan menganalisis informasi dan permintaan produknya dari berbagai sumber untuk memberikan pengalaman pelanggan yang luar biasa.
“Kita tahu bisnis yang tidak bisa beradaptasi di era dirupsi akan bangkrut.”, demikian Gregorius Fanino Maynardo, Kepala Bidang Manajemen Informatika dan Rekam Medis (MIRM) RKZ Surabaya, mengawali perbincangan. “Internet of Things (IoT) atau Internet untuk Segala harus dipahami sebagai sebuah keharusan jika tidak ingin tersingkir dan mati. Uniknya, pelayanan kesehatan tidak bisa serta merta meniadakan manusia dan menggantinya dengan komputer. Tetapi pelayanan kesehatan sangat mungkin memanfaatkan komputerisasi di luar pemberian tindakan medis.”
“Proses komputerisasi di RKZ Surabaya sendiri sudah dimulai sejak tahun 2000. Kala itu hanya ada 10 unit komputer seantero RS.”, kenang Nino, sapaannya. “Tahun 2020, kami punya sekitar 500 unit komputer dan kurang lebih 100-an server.”
Jika Anda menyangka masa pandemi adalah titik balik pemanfaatan teknologi digital di RKZ Surabaya, Nino membeberkan kenyataannya. “Adalah mustahil menerapkan metode komputerisasi di seluruh lini usaha dalam kurun waktu hanya satu tahun. Mengubah kebiasaan manual menjadi digital bukan seperti masak mie instan, langsung jadi. Sejak saya menginjakkan kaki pertama kali di RKZ Surabaya, hingga detik ini, upaya digitalisasi tersebut masih berlangsung. Yang benar adalah, pandemi Covid-19 ini mengakselerasi proses digitalisasi di RKZ Surabaya, karena kami memulainya sudah jauh hari.”
Riset, trial, and error
Tahun 2019 merupakan tahun pembuktian bagi 13 personel skuad MIRM di bawah kepemimpinan Nino. Pasalnya, di tahun 2019 RKZ Surabaya meluncurkan program peresepan elektronik (e-Resep) untuk pasien rawat jalan, bersamaan dengan diresmikannya Gedung Santo Yosef. ”Tuhan sudah mempersiapkan kami sejak sebelum pandemi. Semua program terkait digitalisasi sudah kami cicil sejak 2018-2019, dan sudah diimplementasikan dengan peluncuran e-Resep di 2019. Begitu pandemi melanda, program itu sudah berjalan, sudah melalui trial and error. Intinya sudah settle lah.”
Yang tidak banyak orang ketahui adalah dalam menyusun program e-Resep tersebut, staff IT wajib menguasai dasar farmakologi sebagai bekal riset. “Anda tidak akan menyangka meski sehari-hari kami ini menghadap komputer, tapi kami paham bedanya ampul dan vial, dan istilah seperti per oral, intra vena, topikal.”, kata pria humoris yang menyelesaikan studi Magister Teknologi Informasi di ITS Surabaya ini. “Saat ini kami tengah menyelesaikan rancangan program Rekam Medis Elektronik (e-RM) untuk rawat inap. Kami pun akhirnya belajar mengenai jenis tindakan keperawatan. Jadi memang betul kata orang dulu, belajar itu nggak kenal usia. Kalau kami tidak belajar dan memahami sedikit ilmu keperawatan, kami tidak bisa melakukan riset dan menentukan kebutuhan.”.
Menurut Nino, riset ini adalah bagian terpenting dari manajemen sistem informatika. “Harus diingat bahwa untuk menghadapi tantangan era disrupsi, kita perlu kemampuan mengumpulkan dan menganalisis informasi. Di sinilah riset itu berperan besar untuk menghimpun data, sampai dengan menganalisa dan menyajikannya. Membangun sistem itu 60%-nya menterjemahkan keinginan, 40%nya menyusun program. Makanya untuk mengantisipasi 60% itu harus melakukan riset dulu. Anda bayangkan, agar bisa memasukkan bacaan foto x-ray pasien ke dalam e-RM saja, kami butuh waktu riset selama 4-5 tahun. Kenapa selama itu? Karena kebutuhan selalu berubah. Namun, perubahan itu sendiri pasti punya pola. Riset kami mengumpulkan data dan mengamati pola tersebut sehingga tercipta program yang bisa mengakomodasi kebutuhan dokter, perawat, pasien, hingga petugas akuntansi yang nantinya harus mengaudit keuangan rumah sakit.”
Falsafah Lego
Keberhasilan Tim MIRM RKZ Surabaya melakukan riset intensif dan menghadirkan terobosan dalam bidang informatika menjadi pilar yang menyangga operasional rumah sakit untuk mampu bertahan di era disrupsi. Namun, Nino tidak setuju jika staf IT disebut sebagai Most Valuable Player (MVP) dalam mewujudkan digitalisasi layanan. “Karena sekali lagi, Internet of Things harus dipandang sebagai kebutuhan semua lini penyedia layanan. Satu saja lini resisten terhadap digitalisasi, pekerjaan kami tidak bisa dibilang berhasil.”, katanya. Nino menjelaskan lebih lanjut bahwa IT merupakan pekerjaan tim mengingat permasalahan yang kompleks. ”Server, coding, koneksi antar alat, maintenance…belum lagi kemampuan user yang menjalankan program. Makanya saya bilang kepada tim saya, bayangkan pekerjaan kita ini seperti main lego: saling melengkapi. Hilang satu saja, nggak jadi apa-apa. Karena keunikan produk layanan kesehatan yang tidak bisa menghilangkan aspek manusia itu tadi, secanggih apapun software yang kita kembangkan, selengkap apapun hardware yang kita miliki, kita tetap butuh sumber daya manusia untuk menjalankan sistem. Oleh karena itu, pendekatan terhadap sumber daya manusianya tetap harus dilakukan.”
Pendekatan yang dimaksud oleh Nino termasuk menjembatani perbedaan persepsi tentang digitalisasi antar golongan usia. “Golongan usia yang lebih senior cenderung menganggap upaya komputerisasi sebagai suatu hal yang merepotkan. Padahal tujuan digitalisasi dan komputerisasi kan menyederhanakan sistem, mempercepat proses, ujungnya adalah efisiensi. Dari pengalaman kami di MIRM, resistensi semacam ini muncul karena faktor ‘takut salah’. Takut salah pencet, takut salah ketik, takut salah klik, padahal kalau salah masih bisa dikoreksi kan?”
Meredam perasaan “takut salah” pada user program mereka, Nino menerapkan pendekatan personal. “Anda boleh tidak percaya, tetapi ini nyata. Setiap meluncurkan software baru, kami tidak cuma sekadar memberi sosialisasi secara umum, namun kami melakukan edukasi sampai dengan metode coaching, dalam arti one on one. Satu orang staf IT untuk ngajari satu orang user. Memang tidak semua, tetapi Anda bayangkan orang IT yang biasanya bicara bahasa pemrograman, coding, algoritma…harus juga mampu menjelaskan sesederhana mungkin kepada user mengenai fitur-fitur terkait program, hingga troubleshooting-nya. Mengubah persepsi user tentang digitalisasi saja sudah tantangan besar bagi kami. Tetapi ya bagaimana lagi, tidak ada tahun yang tidak menantang, bukan?”
Komputerisasi yang Humanis
Ditanya tentang harapan yang masih ingin diwujudkan, pria yang juga punya hobi bermain musik ini mengungkapkan, “Kita semua melihat, bahkan merasakan dampak positif maupun negatif dari digitalisasi. Memang semuanya menjadi lebih cepat, lebih ringkas, tetapi kita pun mengalami kurang bergerak, termasuk kurang interaksi antar sesama. Saya tidak ingin itu terjadi di tempat saya bekerja. Masalahnya (tempat saya bekerja) ini adalah rumah sakit. Sekali lagi, Anda tidak bisa menghapus human interaction dari operasional rumah sakit. Anda tidak ingin disuntik oleh robot. Saya yakin, Anda akan lebih memilih disuntik oleh perawat yang bisa mendeteksi kegelisahan Anda, ketakutan Anda terhadap jarum suntik dan memberikan motivasi yang menenangkan Anda sebelum jarum suntik menyentuh permukaan kulit.”
Nino menyebutkan, ia ingin membangun sistem komputerisasi yang humanis, yakni yang tidak meniadakan sama sekali interaksi antar manusia dengan manusia. “Komputerisasi harus lebih humanis, user friendly, karena data yang ada di sistem informasi rumah sakit lebih condong ke hidup orang. Di samping itu, Nino pun menyatakan harapannya agar sebagai sumber daya manusia janganlah resisten terhadap perubahan menuju digitalisasi. “Manusia-nya harus lebih computerized. Anda tetap harus dengan hati terbuka menyadari bahwa suka tidak suka, ini (digitalisasi) akan tetap terjadi, Anda pun harus mau mengadopsi komputerisasi untuk membantu Anda bertahan menghadapi tuntutan customer.”.
Dengan beroperasionalnya layanan digital di RKZ Surabaya, Nino menyadari PRnya masih jauh dari selesai. “Pandemi Covid-19 ini membatasi ruang gerak kita. Tapi kita sudah membuktikan, justru jangkauan kita menjadi lebih luas. Anda yang ada di Indonesia Timur tidak perlu membayar tiket pesawat untuk bisa mengakses layanan RKZ Surabaya. Tinggal chat saja, Anda bisa melakukan konsultasi dengan dokter kami. Tentunya dengan meluasnya jangkauan layanan kami, ketahanan infrastruktur harus terus menerus dikembangkan.”
Pertanyaan besar berikutnya, apakah layanan digitalisasi kesehatan ini mampu memberikan garansi keamanan di samping kemudahannya?
“Di era digital ini cara menyimpan data paling aman justru bila data tersebut tersedia dalam bentuk manual. Tetapi data manual tidak praktis untuk kebutuhan analisis dan penyajian. Secara teoritis, kami menyiapkan firewall sebagai antisipasi data breach, atau kebocoran data. Di samping itu, riset dan inovasi program terus kami kembangkan. Sebagian besar program software yang kami miliki adalah hasil coding dari teman-teman MIRM sendiri, sehingga jika terjadi error atau kegagalan, lebih cepat respon penangananya.”, jelas Nino. “Riset, inovasi, perbaikan, antisipasi, adalah langkah yang menjamin reliability, validity, serta performa tinggi”, ia memungkasi.
Rekam Medis Elektronik
Bicara tentang data di rumah sakit, kita tak bisa lepas dari rekam medis pasien. “Sembilan puluh persen rekam medis pasien di RKZ Surabaya sudah tersedia dalam bentuk digital.”, terang Jarot Budi Raharjo, Kepala Bagian Rekam Medis RKZ Surabaya. Rekam Medis Elektronik (e-RM) mampu mengintegrasikan resume kesehatan pasien mulai dari registrasi awal, hingga hasil penunjang diagnostik seperti hasil radiologi maupun radiologi. “Kami menuju SIRS, Sistem Informasi Rumah Sakit yang terpadu, sehingga riwayat kesehatan pasien tersusun secara sistematis. Semua data dapat dilihat di satu tempat, ya di Bagian Rekam Medis ini.”.
Namun, Jarot menyatakan pula hanya pihak tertentu yang dapat mengakses data tersebut. “Kami, Petugas Perekam Kesehatan, adalah individu yang telah disumpah secara profesional untuk menjaga kerahasiaan data pasien. Hanya kepada pihak tertentu data pasien boleh dirilis. Dengan digitalisasi data ini, sebenarnya makin mudah mengelola keamanan data rekam medis, karena bisa dipantau siapa saja yang mengakses, ada jejak digitalnya. Jika ada pihak yang tidak berwenang mengakses data tersebut, ancamannya hukum pidana”, jelas Jarot. Memang tidak dipungkiri, salah satu keuntungan digitalisasi data adalah transparansi. Namun, adakah kesulitannya saat membangun sistem e-RM ini?
“Resistensi dari beberapa pihak.”, jawab Jarot sambil tersenyum. Sama seperti Nino, Jarot mengungkapkan resistensi didasari oleh ketidaktahuan. “Awalnya alasan penolakan e-RM adalah tidak nyaman, tidak terbiasa dengan keyboard komputer, atau tidak familiar dengan interface program. Lalu, kami lakukan pendekatan personal. Benar-benar personal, karena kami datangi langsung pihak yang resisten tersebut untuk mendengarkan alasan mereka.”
Pendekatan yang dilakukan Jarot dan tim Rekam Medis termasuk mengalah dengan menyalin ulang berkas manual ke dalam program komputer. “Kuncinya adalah bersabar. Kami dengarkan dulu alasan mereka. Setelah itu kami minta izin untuk mensimulasikan cara melakukan input data pasien melalui software di komputer mereka. Setelah melihat sendiri simulasi dari kami, kebanyakan mereka tergerak untuk mencoba sendiri, dan akhirnya mereka sepaham dengan kita, bahwa digitalisasi justru memudahkan dan mempercepat proses. Yang penting adalah jaminan kemudahan melakukan koreksi ketika mereka tidak sengaja melakukan kesalahan input data.”
Akan tetapi, resistensi tidak hanya berasal dari user saja. Digitalisasi memangkas beberapa proses kerja. Di sinilah letak masalah selanjutnya. Jarot kembali menguraikan bahwa dengan eliminasi beberapa langkah kerja muncul kekhawatiran dari internal tim Rekam Medis bahwa digitalisasi akan diikuti pemangkasan tenaga kerja. “Proses kerja di Bagian Rekam Medis ini yang beberapa masih dikerjakan manual adalah assembling, indexing, dan filling. Beberapa rekan kerja saya mengkhawatirkan jika nanti e-RM sudah full-running, pasti proses tersebut tidak butuh sumber daya manusia lagi. Tetapi sebenarnya juga tidak begitu. Digitalisasi di rumah sakit, tidak mungkin meniadakan sama sekali sumber daya manusia. Terlebih di RKZ Surabaya. Kita tidak mungkin berkomitmen kepada kehidupan jika tidak ada unsur kehidupan yang dilibatkan, bukan?”.