Obat golongan Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) merupakan salah satu obat yang banyak digunakan. Namun, penggunaannya dapat menimbulkan berbagai efek samping, salah satunya adalah reaksi hipersensitivitas. Oleh karena itu, pemahaman yang baik mengenai mekanisme, manifestasi, dan penanganan sangat diperlukan untuk meningkatkan keamanan penggunaan obat.
Reaksi hipersensitivitas ini menyerupai alergi, tetapi tidak dimediasi secara imunologis. Reaksi diduga terjadi akibat mekanisme NSAID yang menghambat enzim cyclooxygenase-1 (COX-1), sehingga menyebabkan gangguan metabolisme asam arakidonat, disfungsi LTC4S (5-lipoxygenase leukotriene C4 synthase), penurunan PGE2 (Prostaglandin E2), dan peningkatan produksi CYsLTs (Cysteinyl leukotrine). Hal ini memicu peradangan sistemik dan gejala hipersensitivitas.3
Reaksi non-imunologis bersifat reaksi silang, sehingga pasien dapat mengalami reaksi serupa dengan NSAID lain yang sangat menghambat enzim COX-1. Di sisi lain, NSAID yang selektif menghambat COX-2 dengan hambatan yang lemah pada COX-1 biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Risiko reaksi silang dapat dilihat pada berikut.1
Tabel 1 NSAIDs berdasarkan Struktur Kimia1,4
Kelas Obat | Contoh Obat | Keterangan |
Salicylic acid derivates | Aspirin | Hambatan kuat pada COX-1 |
Propionic acid derivates | Ibuprofen, Naproxen, Ketoprofen, Oxaprozin | Hambatan kuat pada COX-1 |
Acetic acid derivates | Indomethacin, Sulindac, Etodolac, Ketorolac, Diclofenac, Nabumetone | Hambatan kuat pada COX-1 |
Anthranilic acid (fenemates) | Mefenamic acid | Hambatan kuat pada COX-1 |
Pyrazol derivates | Metamizole/Dipyrone | – |
Para-aminophenol derivates | Acetaminophen | Hambatan lemah pada COX-1 |
Enolic acid derivates | Meloxicam, Piroxicam | Hambatan pada COX-2 lebih besar dibanding COX-1 |
Selective COX-2 inhibitors | Celecoxib, Etoricoxib, Parecoxib | Selektif menghambat COX-2 |
Reaksi NERD ditandai dengan munculnya gejala pernapasan, seperti bronkospasme, rhinitis, polip hidung, dan/atau hidung tersumbat setelah mengonsumsi satu atau lebih NSAID. Umumnya, gejala terjadi dalam 30 menit hingga 3 jam setelah mengonsumsi NSAID.
Penurunan kadar PGE2 akan mengaktifkan jalur LTC4S yang mempercepat produksi CysLT. Produksi CysLT yang berlebihan menyebabkan kebocoran pembuluh darah, bronkokonstriksi dan sekresi lendir berlebih. Selain itu, juga terjadi aktivasi sel mast dan eosinofil yang melepaskan mediator kimia dan sitokin, sehingga meningkatkan peradangan sistemik. Respon imun bawaan yang terstimulasi juga dapat menginduksi aktivasi eosinofil dan memfasilitasi produksi sitokin. Eosinofil yang teraktivasi dapat memperburuk asma dan memicu peradangan saluran napas.
Pasien yang mengalami reaksi NERD harus menghindari NSAID dengan hambatan kuat pada COX-1. Agen dengan hambatan lemah pada COX-1 (Paracetamol ≤1.000 mg) dan inhibitor COX-2 selektif biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Namun, masih berisiko terjadi reaksi pada pasien asma yang tidak stabil (2%)
Reaksi NECD terjadi pada pasien dengan riwayat urtikaria spontan kronis yang mengalami eksaserbasi setelah mengonsumsi NSAID. Reaksi ini terutama terbatas pada lapisan dermis atau subkutan tanpa melibatkan saluran pernapasan. Gejala biasanya muncul dalam 30 menit hingga 4 jam setelah mengonsumsi NSAID. Namun, pada beberapa kasus, gejala tertunda hingga 24 jam juga pernah dilaporkan.
Paparan berulang terhadap NSAID dengan hambatan kuat pada COX-1 dapat menyebabkan eksaserbasi yang tidak terkendali. Oleh karena itu, semua penghambat COX-1 harus dihindari. Inhibitor COX-2 selektif biasanya dapat ditoleransi dengan baik. Namun, pemberiannya harus dilakukan di bawah pengawasan klinis untuk memastikan tolerabilitas.
Berbeda dengan NECD, reaksi NIUA terjadi pada pasien tanpa riwayat urtikaria kronis. Reaksi ini ditandai dengan munculnya urtikaria, angioedema, dan/atau anafilaksis setelah terpapar setidaknya dua jenis NSAID dengan struktur kimia yang berbeda. Gejala biasanya berkembang dalam 30 hingga 90 menit setelah terpapar.
Hampir semua NSAID dengan hambatan kuat pada COX-1 dapat menyebabkan reaksi pada pasien yang mengalami reaksi NIUA. Namun, umumnya inhibitor COX-2 selektif dan inhibitor COX-1 lemah dengan dosis rendah dapat ditoleransi dengan baik.
Reaksi ini tidak bersifat reaksi silang dan dimediasi secara imunologis melalui respon imunoglobulin E (IgE) atau sel T. Reaksi ini tidak bergantung pada penghambatan COX-1 dan dapat dipicu oleh satu jenis NSAID atau NSAID dengan struktur kimia yang serupa. Ada 2 jenis utama reaksi alergi akibat NSAID yang berbeda pada waktu terjadinya reaksi.
Reaksi SNIUAA merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh IgE akibat salah satu NSAID atau NSAID lain dengan struktur kimia yang serupa. Antibodi IgE spesifik NSAID akan berikatan dengan reseptor IgE afinitas tinggi di permukaan sel mast dan basofil, sehingga memicu produksi besar-besaran mediator kimia dan menyebabkan urtikaria, angioedema, bahkan anafilaksis.
Biasanya gejala muncul dalam hitungan detik hingga menit setelah paparan. Semua jenis NSAID dapat menyebabkan reaksi SNIUAA. Namun, Diclofenac, Aspirin dan golongan Pyrazolone merupakan jenis NSAID yang paling sering dikaitkan dengan reaksi ini. Menghindari agen penyebab serta agen dengan struktur serupa sangat dianjurkan. Pasien SNIUAA umumnya dapat menoleransi NSAID yang memiliki struktur kimia yang berbeda.
Contoh: Pasien mengalami reaksi anafilaksis (SNIUAA) setelah mengonsumsi Diclofenac (turunan Acetic acid), kemungkinan masih dapat menoleransi NSAID dengan struktur kimia yang berbeda (selain turunan Acetic acid).
Reaksi NIDHR adalah reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T. Sel dendritik mengenali antigen dari NSAID yang akan mengaktifkan sel T spesifik sehingga melepaskan sitokin dan sitotoksin yang menyebabkan peradangan sistemik. Reaksi NIDHR bersifat tertunda dan biasanya muncul sekitar 24 hingga 48 jam setelah paparan terhadap satu jenis NSAID, baik oral, intravena, maupun topikal.
Manifestasi klinis NIDHR, meliputi erupsi makulopapular, dermatitis kontak, dan reaksi fotosensitivitas. Meskipun jarang, reaksi berat seperti SJS (Stevens-Johnson Syndrome), TEN (Toxic Epidermal Necrolysis), serta sindrom DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms) juga dapat terjadi. Pasien yang mengalami NIDHR disarankan untuk menghindari NSAID penyebab, serta NSAID lain dengan struktur kimia yang serupa.
Diagnosis reaksi hipersensitivitas akibat NSAID didasarkan pada riwayat klinis, pemeriksaan fisik, dan jika memungkinkan dilakukan tes in vitro dan in vivo yang kemudian diikuti dengan prosedur provokasi obat.
Riwayat harus mencakup beberapa informasi detail, antara lain:
Riwayat tidak dapat digunakan untuk memutuskan jenis dan mekanisme hipersensitivitas, sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut berdasarkan prosedur in vivo dan in vitro, yaitu:
Jika pasien mengalami reaksi hipersensitivitas terhadap NSAID selain Aspirin, uji provokasi menggunakan Aspirin menjadi metode diagnostik terbaik. Uji Aspirin oral memiliki sensitivitas 89% dan spesifisitas 93%. Selain itu, uji bronkhial juga umum digunakan. Namun, memiliki sensitivitas yang lebih rendah dengan spesifisitas serupa.
Sebaliknya, jika Aspirin merupakan obat penyebab, maka uji provokasi dilakukan menggunakan NSAID lain dengan hambatan kuat pada COX-1. Hasil positif menandakan adanya reaksi silang, sedangkan hasil negatif dapat mengindikasikan adanya reaksi SNIUAA yang bersifat selektif terhadap Aspirin. Uji provokasi tidak direkomendasikan untuk pasien dengan reaksi tertunda (NIDHR) karena risiko klinis yang muncul lebih berat dan sulit diprediksi.
Skin test intradermal dengan obat yang dicurigai hanya direkomendasikan untuk mendiagnosis reaksi imunologis. Penggunaan skin test untuk golongan Pyrazolone (Metamizole) telah terdokumentasi, meskipun sensitivitasnya rendah dan berisiko menyebabkan reaksi sistemik. Efikasi skin test untuk NSAID lain masih terbatas. Skin test tidak diindikasikan pada reaksi silang (NECD, NIUA) karena berisiko memberikan hasil negatif palsu.
Pada pasien dengan NIDHR, skin patch test dapat berguna untuk mendiagnosis dermatitis kontak, fixed drug eruption, dan ruam makulopapular, serta beberapa kasus SJS atau TEN. Sebagai alternatif, dapat dilakukan tes intradermal dengan pembacaan tertunda. Tes ini memiliki spesifitas tinggi, namun sensitivitas rendah, sehingga hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya reaksi. Sementara itu, berbagai uji in vitro untuk NIDHR masih belum divalidasi dan tidak direkomendasikan untuk praktik klinis.
Uji provokasi oral tetap menjadi “gold standard” terutama jika riwayat klinis tidak jelas atau diperlukan konfirmasi diagnosis pasti. Namun, keputusan melakukan uji harus mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Sensitivitas dan spesifisitas uji ini sangat tinggi melebihi 90%. Meskipun demikian, pada kasus tertentu dapat terjadi hasil negatif palsu, misalnya pada pasien dengan NERD atau NECD yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang dan/atau memiliki penyakit asma atau urtikaria terkontrol dalam waktu lama.
Pada reaksi NERD, uji provokasi inhalasi lebih aman dan cepat dibandingkan uji oral. Sementara itu, uji provokasi oral tidak direkomendasikan untuk reaksi NIDHR, karena tidak efektif dan berisiko tinggi memicu reaksi berat.
Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien dengan NERD, NECD, dan NIUA, sehingga semua penghambat COX-1 harus dihindari. Meskipun inhibitor COX-2 selektif dan Paracetamol dapat menjadi alternatif, uji toleransi tetap diperlukan karena keduanya masih berpotensi menimbulkan reaksi silang. Sementara itu, pasien dengan SNIUAA dan NIDHR harus menghindari agen penyebab, karena reaksi bersifat spesifik.
Penanganan gejala hipersensitivitas disesuaikan dengan tipe reaksi yang dialami, antara lain:
Desensitisasi Aspirin merupakan prosedur penting bagi pasien yang membutuhkan Aspirin jangka panjang untuk mengelola kondisi medis tertentu, seperti penyakit kardiovaskular. Desensitisasi umumnya dilakukan untuk reaksi NERD dan NIUA, namun tidak direkomendasikan untuk NECD. Sebagai alternatif, antiplatelet golongan thienopiridine (Clopidogrel) dapat menjadi pilihan yang lebih aman.6
Tidak terdapat data desensitisasi untuk reaksi SNIUAA dan NIDHR. Namun, desensitisasi pada NIDHR dapat dipertimbangkan hanya ketika penggunaan Aspirin tidak dapat digantikan dan reaksi hipersensitivitas bersifat ringan, seperti ruam kulit tanpa komplikasi.3
Berbagai protokol desensitisasi Aspirin telah dikembangkan, terutama untuk NERD. Umumnya merupakan modifikasi dari uji provokasi Aspirin. Dua pendekatan yang umum digunakan adalah protokol 2 hari yang direkomendasikan EAACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology) dan protokol 1 hari yang diajukan oleh DeGregorio, et al. Setelah desensitisasi berhasil, kepatuhan penggunaan Aspirin secara berkelanjutan sangat penting, karena toleransi akan hilang, jika Aspirin tidak dikonsumsi dalam waktu 48 jam.
Tabel 2 Protokol Desensitisasi Aspirin untuk NERD3
Waktu | Dosis Aspirin (mg) | ||
Protokol DeGregorio | Protokol EAACI | ||
Hari ke-1 | Hari ke-1 | Hari ke-2 | |
8:00 | 40,5 | – | – |
9:00 | – | 20-40 | 100-160 |
9:30 | 81,0 | – | – |
11:00 | 162,5 | 40-60 | 160-325 |
12:30 | 325,0 | – | – |
13:00 | – | 60-100 | 325 |
Kesimpulan
Hipersensitivitas terhadap NSAID merupakan kondisi yang sering terjadi, dengan manifestasi klinis yang bervariasi, mulai dari reaksi pada saluran napas, kulit, hingga sistemik. Identifikasi dan penegakan diagnosis yang tepat sangat penting untuk menentukan tipe reaksi, sebagai dasar pengambilan keputusan penatalaksanaan, pemilihan NSAID yang aman, serta pertimbangan desensitisasi NSAID jika diperlukan. Penatalaksanaan yang tepat akan meminimalkan risiko dan meningkatkan keamanan terapi bagi pasien.
Baca juga informasi seputar kesehatan lainnya:
Cedera Hati (Hepatitis) Akibat Obat https://rkzsurabaya.com/2023/10/09/cedera-hati-hepatitis-akibat-obat/
Referensi:
1. Lipscomb, J., Wong, M. & Birkel, M. Management of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug-Induced Hypersensitivity Reactions. US Pharm https://www.uspharmacist.com/article/management-of-nonsteroidal-antiinflammatory-druginduced-hypersensitivity-reactions (2019).
2. Kowalski, M. & Makowska, J. Seven Steps to the Diagnosis of NSAIDs Hypersensitivity: How to Apply a New Classification in Real Practice? Allergy Asthma Immunolo Res 7, 312–320 (2015).
3. Yeung, W. Y. & Park, H. S. Update on the Management of Nonsteroidal Anti-Infalmmatory Drug Hypersensitivity. Yonseli Med J 61, 4–14 (2020).
4. Sanches-Borges, M. Clinical Management of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Hypersensitivity. WAO J. 1, (2008).
5. Kowalski, M. ., Makowska, J. ., Blanca, M., Bavbek, S. & Bochenek, G. Hypersensitivity to nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) – classification, diagnosis and management: review of the EAACI/ENDA# and GA2LEN/HANNA. Allergy 66, (2011).
6. Makowska, J., Makowski, M. & Kowalski, M. L. NSAIDs Hypersensitivity: When and How to Desensitize? Curr Treat Options Allergy 2, (2015).