Alergi dan intoleransi makanan merupakan reaksi simpang terhadap makanan (adverse food reaction) alergi atau hipersensitivitas terhadap makanan adalah suatu reaksi imunologik yang diperantarai oleh Ig-E terhadap protein dalam makanan yang secara normal biasanya tidak menimbulkan reaksi.
Ambil contoh, anak yang alergi terhadap ayam, makan ayam pada normalya tiak menimbulkan reaksi seperti gatal maupun timbul bercak merah, namun pada anak yang alergi makan ayam bisa jadi muncul reaksi gatal ini. Intoleransi makanan adalah reaksi non-imunologik terhadap makan yang bersifat toksik, farmakologik, metabolic, atau reaksi idiosinkratik terhadap makan atau substansi kimiawi dalam makanan. Misalnya, intoleransi laktosa / protein susu. Tanpa enzim lactase, maka laktosa tidak akan dapat dicerna dan menyeabkan gangguan pencernaan.
Penyebab alergi (alergen) adalah protein dalam makanan yang masuk ke dalam tubuh/ imun seseorang sehingga menimbulkan reaksi alergi. Reaksi ini timbul pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Tanda – tanda klinis yang timbul antara lain urtikaria, angioderma, dermatitis, rhinitis, bentuk kronik, asma, mual, muntah, diare, dan kejang perut.
Reaksi yang timbul segera terjadi bebraoa menit sampai beberapa jam sesudah makan dan hilang 24-48 jam sesudah makan. Sedangkan reaksi yang timbul lambat terjadi 4 – 72 jam sesudah makan dan hilang beberapa hari kemudian.
Jenis bahan makanan yang sering menjadi penyebab alergi, khususnya pada anak, antara lain susu sapi, telur, kedelai, gandum, serta seafood (ikan, udang , kerang). Sekitar 80-90 % alergi terhadap makanan ini akan menghilang setelah usia 3 tahun, namun seringkali alergi terhadap seafood menetap hingga dewasa. Pengendalian reaksi alergi dengan cara menghindari makanan penyebab alergi (Alergen) dapat mengurangi frekuensi dan intensitas serangan serta penggunaan obat sehingga akan meningkatkan kualitas hidup anak tersebut. Pada anak – anak, puncak kejadian alergi makanan biasanya terjadi pada 0 – 2 tahun karena system saluran pencernaan yang relatif belum matang, dan yang paling sering adalah alergi susu sapi (ASS). ASS merupakan enteropati akibat sensitisasi terhadap protein susu sapi yang ditandai dengan sindroma klinis berupa muntah, diare kronik (disertai darah), malabsorpsi, gangguan pertumbuhan, dan pada biopsy usus ditemukan mukosa yang abnormal.
Tindakan preventif yang dapat orang tua lakukan salah satunya dengan tes alergi. Selain itu ada uji Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat alergi makanan, hasil positif uji tusuk kulit dan uji RAST. Jika alergi menghilang setelah diet eliminasi selama 2 – 4 minggu maka. Dilanjutkan dengan diet provokasi yaitu memberikan makanan yang diduga sebagai penyebab alergi. Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi muncul kembali dan dinyatakan negative bila tidak timbul gejala. Pengawasan harus dilakukan kemungkinan terjadi reaksi tipe lambat setelah beberapa hari uji provokasi.
Diet alergi pada anak bertujuan untuk menghindari makan yang terbukti menjadi penyebab alergi untuk mengurangi frekuensi dan intensitas serangan serta penggunaan obat guna mempertahankan / meningkatkan status gizi. Ada beberapa syarat yang sekitarnya harus dipatuhi oleh orang tua antara lain:
Maka dapat ditegakkan diagnosis alergi susu sapi dan ibu harus menghindari susu sapi dan produk turunannya sampai bayi berumur 9-12 bulan atau minimal 6 bulan. Setelah mencapai umur itu, uji provokasi dapat diulangi lagi. Bila gejala tidak muncul berarti anak anda sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba untuk diberikan lagi kepada ibu. Bila gejala timbul maka eliminasi dapat dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya.
Untuk informasi seputar gizi anak, segera hubungi Ahli Gizi
RS katolik St Vincentius A Paulo (RKZ) Surabaya
Jl. Diponegoro 51 – TELP: 031 2952 367