Pada umumnya, obat digunakan untuk mengobati suatu penyakit, namun pada pasien tertentu obat dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan maupun toksisitas obat.
Ada beberapa terminologi untuk menggambarkan reaksi yang merugikan dari suatu obat, seperti reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD), efek samping obat (ESO), dan toksisitas obat.
Toksisitas obat diartikan sebagai tingkat kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu obat terhadap organisme. Efek toksik suatu obat bergantung pada dosis dan dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh.
Istilah ROTD digunakan untuk menggambarkan reaksi yang muncul pada penggunaan obat dalam rentang dosis terapi yang direkomendasikan, sedangkan toksisitas obat digunakan untuk menggambarkan penggunaan obat yang melewati rentang dosis terapi. Risiko toksisitas obat juga dapat terjadi pada penggunaan dosis normal, seperti pada kasus interaksi obat yang menyebabkan peningkatan kadar obat.
Efek samping obat sering digunakan sebagai istilah alternatif untuk ROTD, meskipun seharusnya lebih mengacu pada efek yang tidak diinginkan dan tidak berkaitan dengan mekanisme kerja obat.
Pasien bayi, anak-anak dan usia lanjut (>65 tahun) memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami toksisitas obat karena perbedaan profil farmakokinetik atau enzim pemetabolisme obat. Selain itu, fungsi organ pada pasien bayi atau anak-anak masih belum sempurna, sedangkan pada pasien usia lanjut sudah terjadi penurunan fungsi organ tubuh.
Risiko toksisitas obat akan meningkat pada pasien dengan disfungsi liver atau ginjal, penurunan sistem imun atau kehamilan.
Pemberian dosis melewati rentang dosis terapi yang direkomendasikan dapat menyebabkan toksisitas obat. Contoh: konsentrasi Gentamicin di dalam darah >12 mcg/ml dapat menyebabkan gangguan pada pendengaran (ototoksisitas) dan ginjal (nefrotoksisitas).2
Penggunaan obat lain atau obat herbal secara bersamaan dapat menyebabkan interaksi obat melalui interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi dapat memengaruhi kadar obat dan berpotensi menimbulkan toksisitas obat.
Penanganan bertujuan untuk mengurangi toksisitas obat yang dapat dilakukan dengan cara berikut:
Tabel 1 Rekomendasi Penggunaan Activated Charcoal
Ya | Tidak |
Maksimal 1 jam setelah tertelan, namun dapat sampai 4 jam untuk obat dengan bentuk sediaan modified release atau obat antimuskarinik yang menunda pengosongan lambung | Pasien mengantuk atau pingsan (risiko aspirasi)Penurunan motilitas gastrointestinal (risiko obstruksi)Keracunan dalam jumlah besar (sekitar 10 g activated charcoal diperlukan untuk setiap 1 g racun) |
Dosis:
Usia >12 tahun dan dewasa: 50 g; Usia <12 tahun: 1 g/kg (maksimum 50 g). Dosis dapat diulang setiap 4 jam selama 24-36 jam.
Pengulangan dosis diyakini berguna pada keracunan yang berpotensi mengancam jiwa dari obat Carbamazepine, Dapsone, Phenobarbital, Quinine, Theophylline, Amitriptyline, Digoxin, Amiodarone, Valproic acid, Duloxetine, dan Verapamil. Pasien dengan keluhan muntah harus diterapi dengan antiemetik karena dapat menurunkan efikasi dari charcoal.
Tabel 2 Adsorbsi obat pada Activated Charcoal2
Tidak dapat diadsorbsi | Dapat diadsorbsi |
Zat asam | Aspirin |
Zat alkali | Benzodiazepines |
Cyanide | Carbamazepine |
DDT (insektisida) | Calcium channel blockers |
Ethanol | Dapsone |
Ethylene glycol | Digoxin |
Garam Ferrous | Ecstasy (MDMA) |
Timbal (Pb) | Paraquat (herbicide) |
Lithium | Phenobarbital |
Mercury | Quinine |
Methanol | Theophylline |
Organic solvents | Tricylic antidepressants |
Obat yang sudah terjerap pada activated charcoal, selanjutnya akan dibawa melewati dinding usus dan diserap ke dalam usus melalui perbedaan konsentrasi, sehingga eliminasi obat akan meningkat.
Perubahan pH urin berguna untuk meningkatkan eliminasi obat yang bersifat elektrolit lemah. Modifikasi pH urin bertujuan untuk meningkatkan ionisasi obat, sehingga akan menurunkan reabsorpsi di ginjal, contoh: Salisilat (asam lemah) akan lebih cepat terekskresi pada urin yang bersifat alkali. Peningkatan pH urin dapat dilakukan dengan pemberian Sodium Bicarbonate secara intravena.
Hemodialisis berguna untuk obat yang banyak berada di dalam plasma. Hemodialisis bergantung pada difusi obat dari darah, melintasi membran semipermeabel ke cairan dialisis. Hemodialisis biasanya digunakan untuk pasien dengan toksisitas obat akibat Ethylene glycol, Lithium, Methanol, Phenobarbital, Salicylates dan Sodium Valproate.
Antidot hanya tersedia untuk beberapa obat saja. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antidot dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu:
Bekerja dengan berkompetisi untuk menduduki reseptor obat, contoh: Atropine yang bekerja pada reseptor muskarinik diberikan untuk menghentikan efek parasimpatik dari Acetylcholine yang berlebihan akibat keracunan insektisida organofosfat.
Bekerja dengan membentuk kompleks dengan obat, sehingga akan menurunkan konsentrasi obat bebas, contoh: Sodium calcium edetate (EDTA) pada keracunan timbal.
Bekerja dengan memengaruhi metabolisme obat, contoh: Fomepizole merupakan inhibitor kompetitif alkohol dehidrogenase pada kasus keracunan Methanol atau Ethylene glycol dengan menghambat pembentukan metabolit toksik.
Antibodi bekerja dengan membentuk ikatan dengan antigen spesifik dari toksisitas obat. Contoh: penggunaan fragmen antibodi spesifik yang berasal dari domba untuk toksisitas Digoxin (Digibind®), namun belum tersedia di Indonesia.
Tabel 3 Contoh Antidot Obat-obatan
Nama Obat yang menyebabkan toksisitas | Nama Antidot | Dosis Antidot | Keterangan |
---|---|---|---|
Obat golongan Benzodiazepine, seperti Alprazolam, Clonazepam, Diazepam, Midazolam | Flumazenil | IV6,7 Dosis awal: 0,2 mg diinjeksikan selama 2 menit. Jika belum sadar dalam 30 detik setelah pemberian, diberikan dosis tambahan 0,3 mg diinjeksikan selama 3 menit. Dosis ulangan (bila diperlukan): 0,5 mg diinjeksikan selama 5 menit, diulang dengan interval 1 menit, sampai total dosis maksimum 3 mg (umumnya total dosis yang diperlukan antara 1-3 mg). Pada pasien yang menunjukkan respon parsial (kesadaran sebagian) dengan dosis total 3 mg, mungkin membutuhkan dosis tambahan sampai 5 mg (jarang). Jika tetap tidak menunjukkan respon, maka keracunan tidak berhubungan dengan benzodiazepine. | Flumazenil merupakan antagonis Benzodiazepine yang bekerja pada reseptor ɤ-aminobutyric acid tipe A (GABAA). |
Calcium Channel Blockers (CCBs), seperti Verapamil, Diltiazem | Calcium gluconate 10% | IV6 Dosis awal: 60 mg/kg diberikan dalam 5-10 menit (maksimum 3-6 g/dosis), dapat diulang tiap 10-20 menit untuk 3-4 dosis tambahan atau diawali dengan infus kontinyu 60-120 mg/kg/jam dan dititrasi untuk meningkatkan hemodinamik pasien. | Calcium merupakan kation yang diperlukan untuk fungsi normal berbagai enzim dan sistem organ. Calcium dapat mengembalikan efek negatif dari efek inotropik CCBs.8 |
Opioid (Morphine, Heroin, Codeine, Methadone) | Naloxone | IV, IM, SC6 Dosis awal: 0,4-2 mg, diulang tiap 2-3 menit bila diperlukan. Dosis awal yang lebih rendah (0,1-0,2 mg) perlu dipertimbangkan pada pasien dengan ketergantungan opioid untuk mencegah akut withdrawal. Setelah membaik, mungkin diperlukan pemberian dosis ulangan dengan interval 20-60 menit tergantung pada tipe/durasi opioid. Jika tidak ada respon setelah pemberian total dosis 10 mg, maka perlu dipertimbangkan penyebab lainnya. | Naloxone merupakan antagonis alami opioid yang digunakan sebagai terapi pada depresi pernapasan akibat opioid. Naloxone dapat berkompetisi pada reseptor opioid µ. |
Paracetamol | Acetylcysteine | Idealnya, Acetylcysteine harus diberikan dalam waktu 8 jam setelah Paracetamol tertelan atau sesegera mungkin untuk menghindari hepatoksisitas yang serius. Oral6 72-hour regimen (total 18 dosis) Dosis muatan: 140 mg/kgDosis pemeliharaan: 70 mg/kg tiap 4 jam, ulangi pemberian bila pasien muntah dalam 1 jam setelah diberikan. IV6 21-hour regimen Dosis muatan: 150 mg/kg (maksimum 15 g), diinfuskan selama 1 jam (200 ml infus)Dosis ke-2: 50 mg/kg (maksimum 5 g), diinfuskan selama 4 jam (500 ml infus)Dosis ke-3: 100 mg/kg (maksimum 10 g), diinfuskan selama 16 jam (1 liter infus). Catatan: Pemberian activated charcoal dalam 1-2 jam setelah Paracetamol tertelan dapat memberikan tambahan perlindungan hepar pada pasien overdosis Paracetamol. | Acetylcysteine menyediakan substrat untuk konjugasi metabolit sitotoksik dari Paracetamol (NAPQI). |
Sulfonylurea, seperti: Glimepiride, Glibenclamide, Gliclazide, dan Glipizide | Octreotide | Dosis umum:6 SC 50-100 mcg dosis tunggal, dapat diulang tiap 6 jam bila diperlukan. IV Dosis hingga 125 mcg/jam dilaporkan menghasilkan outcome yang baik. Penggunaan Octreotide dengan bentuk sediaan depot (kerja panjang) tidak diperbolehkan. | Octreotide merupakan analog Somatostatin yang dapat menghambat pelepasan insulin dan mencegah hipoglikemi berulang. |
Heparin | Protamine sulfate | Overdosis akibat pemberian Heparin secara IV IV6 Konsentrasi Heparin dalam darah akan menurun secara cepat setelah administrasi, sehingga pemberian dosis Protamine disesuaikan dengan durasi waktu sejak administrasi Heparin. 1 mg Protamine dapat menetralisir 100 unit Heparin, maksimum 50 mg/dosis. Protamine diberikan melalui IV lambat selama 10 menit. Apabila aPTT masih meningkat, dapat diulang Protamine 0,5 mg untuk tiap 100 unit Heparin. | Protamine merupakan protein yang diperoleh dari sperma ikan. Protamine bekerja dengan cepat mengikat dan menginaktivasi Heparin.8 |
Methanol | Fomepizole | IV6 Dosis muatan: 15 mg/kg Dosis pemeliharaan: 10 mg/kg, tiap 12 jam sebanyak 4 dosis, kemudian ditingkatkan menjadi 15 mg/kg tiap 12 jam sampai konsentrasi Methanol dalam darah turun menjadi <20 mg/dL, pasien asimptomatik dengan pH darah normal. Pada keracunan yang parah membutuhkan tambahan hemodialisis, dan diperlukan penyesuaian dosis. Semua dosis harus diencerkan dengan setidaknya 100 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dan diberikan secara IV perlahan selama 30 menit. | Fomepizole merupakan inhibitor kompetitif yang kuat dari alkohol dehidrogenase yang merupakan enzim dalam metabolisme ethanol. Fomepizole dapat mencegah pembentukan metabolit toksik dari Methanol.8 |
Selain penanganan toksisitas obat dengan penggunaan antidot, pengukuran tanda-tanda vital dan perbaikan gejala toksisitas juga diperlukan untuk mencapai tujuan terapi.
Pustaka:
1. Riley AL, Kohut S. Drug Toxicity. In: Stolerman IP Encyclopedia of Psychopharmacology. Berlin, Heidelberg: Spinger; 2010.
2. Waller DG, Sampson AP. Drug toxicity and overdose. In: Medical Pharmacology and Therapeutics. 5th ed. Elsevier; 2018. p. 659–73.
3. Taniguchi CM, Armstrong SR, Green LC, Golan DE, Tashjian AH. Drug Toxicity. In: Principles of Pharmacology. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012. p. 63–74.
4. British National Formulary 61. 6th ed. London: BMJ Group and Pharmaceutical Press; 2011.
5. Silberman J, Taylor A. Activated Charcoal [Internet]. StatPearls Publishing LLC. 2019. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482294/
6. Wolters Kluwer Clinical Drug Information, Lexicomp Application ver 7.3.3 Production [Internet]. Hudson: UpToDate Inc.; 2022. Available from: www.lexi.com
7. IBM Micromedex Drug Reference Application Ver. 3.1.1. Copyright 2013, 2021 IBM.
8. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose. 5 edition. Anderson IB, Benowitz NL, Blanc PD, editors. San Francisco: Mc Graw Hill; 2006.
Baca juga tentang penggunaan antibiotik rasional https://rkzsurabaya.com/2022/04/08/penggunaan-antibiotik-rasional/