Pneumonia merupakan salah satu infeksi dengan angka kematian yang tinggi di negara berkembang, termasuk Indonesia. Umumnya, pneumonia disebabkan oleh bakteri, tetapi saat ini tidak jarang ditemukan pneumonia karena infeksi jamur (fungal pneumonia) akibat meningkatnya jumlah pasien dengan gangguan sistem imun, keganasan, serta penggunaan obat-obatan yang menekan daya tahan tubuh. Infeksi jamur serius diketahui sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas.1,2,3,4
Oleh karena itu, diperlukan diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat, salah satunya dengan identifikasi pasien dengan faktor risiko tinggi sebagai langkah awal untuk menurunkan angka kematian.
Risiko fungal pneumonia meningkat pada pasien dengan kekebalan tubuh yang lemah atau pasien dengan kondisi penyerta, seperti:2,3,5
Selain itu, penggunaan Central Venous Catheter (CVC), antibiotik spektrum luas maupun kortikosteroid sistemik jangka panjang, total parenteral nutrition (TPN), perawatan di Intensive Care Unit (ICU) dalam waktu lama, kolonisasi Candida di mukosa dan gagal ginjal juga menjadi faktor risiko lain yang meningkatkan kemungkinan mengalami infeksi jamur.
Ada sekitar 5,1 juta spesies jamur dan hanya sekitar 300 spesies yang diketahui dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Jamur merupakan mikroorganisme yang umum ditemukan di lingkungan, seperti pada tanah, tanaman, permukaan benda, udara, kulit manusia, dan di dalam tubuh.5,6
Berdasarkan penelitian Wahyuningsih, et al. (2021) sekitar 7,7 juta penduduk Indonesia mengalami infeksi jamur serius setiap tahunnya. Beberapa fungal pneumonia yang umum ditemukan di Indonesia, antara lain Cryptococcosis pada AIDS, Pneumocystis pneumonia, Histoplasmosis, Talaromyces marneffei, dan Aspergillosis.2
Ketersediaan laboratorium yang terbatas untuk pemeriksaan jamur seringkali menjadi hambatan, sehingga terjadi kesalahan dalam diagnosis. Fungal pneumonia seringkali memiliki gejala yang mirip dengan penyakit lain, seperti pneumonia akibat bakteri. Hal ini yang menyebabkan para klinisi sulit untuk melakukan diagnosis secara cepat.
Dokter harus melakukan penilaian terkait riwayat penyakit, faktor risiko, gejala, pemeriksaan fisik, dan laboratorium untuk menentukan apakah pasien menderita fungal pneumonia.
Pada umumnya, pengobatan fungal pneumonia harus berdasarkan dari jenis jamur, keparahan penyakit, dan gambaran klinis setiap pasien.
Polyenes merupakan produk alami dari Streptomyces nodosus dan merupakan golongan anti jamur pertama yang ditemukan. Generasi pertama memiliki spektrum aktivitas yang luas, tapi berhubungan dengan toksisitas terhadap ginjal dan reaksi terkait infus, sedangkan formulasi lipid memiliki risiko toksisitas yang lebih rendah.
Contoh: Amphotericin B Deoxycholate. Formulasi lipid, yaitu Amphotericin B Liposomal dan Amphotericin B Lipid Complex. Ketiganya belum tersedia di Indonesia.
Amphotericin B merupakan salah satu anti jamur poten yang aktif terhadap Cryptococcus spp dan kebanyakan Candida spp. (kecuali Candida lusitaniae), Aspergillus spp. (kecuali Aspergillus terreus), Histoplasma capsulatum, Blastomyces dermatitidis, Coccidioides immitis posadassi, Paracoccidioides, spp. dan kelompok Mucorales.
Polyenes bekerja dengan mengikat ergosterol pada membran sel jamur, membentuk saluran trans membran yang menyebabkan kebocoran dan kematian sel.
Infus intravena selama 2 hingga 6 jam. Premedikasi (Paracetamol, Diphenhydramine, dan/atau Hydrocortisone) dapat diberikan 30-60 menit sebelum pemberian obat untuk mengurangi reaksi terkait infus. Meperidine (Pethidine) juga dapat diberikan bila pasien menggigil saat pemberian obat.
Fungsi ginjal (serum kreatinin, BUN), serum elektrolit (terutama kalium dan magnesium), darah lengkap, dan fungsi liver, suhu, darah lengkap.
Contoh: Itraconazole, Fluconazole, Voriconazole, Isavuconazole dan Posaconazole (belum tersedia di Indonesia).
Triazoles bekerja dengan mengganggu aktivitas cytochrome P450, menurunkan sintesis ergosterol dan menghambat pembentukan sel membran.
Itraconazole mengandung 4 cincin lipofilik yang meningkatkan interaksi dengan cytochrome CYP51. Itraconazole efektif untuk infeksi Aspergillus, infeksi mukosa akibat Candida, histoplasmosis, blastomycosis, coccidioidomycosis, dan infeksi jamur lainnya. Itraconazole tidak digunakan pada infeksi sistem saraf pusat (SSP) karena penetrasinya yang buruk.
Aktivitas Itraconazole kebanyakan pada Candida spp. Selain itu, juga aktif terhadap B. dermatitidis, H. capsulatum, Coccidioides spp, Paracoccidioides spp, dan Sporothrix schenckii, Aspergillus spp, termasuk A. fumigatus, A flavus, A nidulans, dan A. terreus.
Itraconazole kapsul diberikan setelah makan. Belum tersedia Itraconazole injeksi ataupun suspensi di Indonesia.
Fungsi liver (pada pasien dengan riwayat penyakit hati atau pasien lain dengan indikasi), fungsi ginjal, tanda/gejala gagal jantung, dan neuropati.
Fluconazole memiliki aktivitas yang baik terhadap Candida albicans dan digunakan untuk pencegahan dan terapi penyakit jamur pada mukosa atau sistemik. Fluconazole digunakan untuk Cryptococcosis dan Coccidioidomycosis, serta memiliki penetrasi yang baik pada SSP.
Fluconazole aktif terhadap Cryptococcus neoformans dan Candida, spp termasuk C. albicans, C. parapsilosis, C. tropicalis, C. lustaniae, dan C. dubliniensis, tetapi tidak aktif terhadap C glabrata dan C. krusei. Fluconazole juga tidak aktif untuk Aspergillus spp, Fusarium spp, Scedosporium spp, atau kelompok Mucorales.
Infus intravena selama 1 hingga 2 jam, kecepatan pemberian tidak melebihi 200 mg/jam.
Fungsi liver (SGOT, SGPT, alkaline phosphatase, khususnya pada pasien dengan riwayat penyakit liver), fungsi ginjal, kalium.
Voriconazole adalah jenis golongan azole yang lebih baru, sering digunakan untuk infeksi Aspergillosis sistemik.
Aktivitas Voriconazole terhadap Candida spp mirip dengan Fluconazole dan Itraconazole. Namun, memiliki aktivitas terhadap C. glabrata yang resisten dengan Fluconazole. Selain itu, Voriconazole juga aktif terhadap Cryptococcus spp, B. dermatitidis, Coccidioides immitis, H. capsulatum, Aspergillus spp, Fusarium spp, dan Scedosporium spp.
Sediaan injeksi diberikan secara infus intravena selama 1 hingga 3 jam, kecepatan pemberian tidak lebih 3 mg/kg/jam. Sediaan tablet diberikan 1 jam sebelum atau 1 jam setelah makan.
Fungsi liver (saat memulai terapi dan tiap minggu selama bulan pertama, dan kemudian tiap bulan selama pengobatan jika tidak ada abnormalitas), fungsi ginjal (serum kreatinin saat awal terapi dan secara berkala selama pengobatan, khususnya untuk pasien dengan CrCl <50 mL/min yang menggunakan sediaan injeksi), serum elektrolit (calcium, magnesium, kalium), fungsi penglihatan.
Isavuconazole memiliki spektrum aktivitas yang lebih luas, termasuk untuk spesies Mucorales, serta memiliki profil keamanan yang lebih baik. Isavuconazole dapat digunakan untuk Aspergillus dan Mucormycosis.10
Infus minimal selama 1 jam, harus diberikan melalui infus set dengan filter (ukuran 0,2-12 mikron). Tidak boleh diberikan secara IV bolus.
Reaksi hipersensitivitas, fungsi liver pada awal dan selama obat diberikan. Reaksi infus selama pemberian, seperti hipotensi, dyspnea, menggigil, pusing, kesemutan, mati rasa.
Posaconazole juga memiliki aktivitas terhadap Candida spp, seperti C. albicans, C. parapsilosis, C. tropicalis, dan C. lustitaniae. Selain itu, juga aktif terhadap Cryptococcus spp, Coccidioide immitis, B. dermatitidis, H. capsulatum, Aspergillus spp dan beberapa Mucorales.
Infus selama 90 menit melalui vena sentral. Obat diberikan melalui infus set dengan filter (0,22 mikron polyethersulfone atau polyvinylidene difluoride). Tidak boleh diberikan secara IV bolus. Pemberian melalui vena perifer hanya digunakan satu kali selama 30 menit pada pasien yang akan menerima dosis berikutnya melalui vena sentral.
Fungsi liver sebelum dan selama pengobatan; fungsi ginjal terutama pada pasien dengan eGFR <50 mL/minute/1,73 m2; serum elektrolit (calcium, magnesium, kalium), darah lengkap.
Masuk ke dalam sel jamur, bersaing dengan uridylic acid, sehingga mengganggu sintesis protein dan RNA, dan menghambat pembentukan thymidylate, serta menghambat sintesis DNA.
Flucytosine memiliki aktivitas pada C. albicans, C. glabrata, C. parapsilosis, dan C. tropicalis, serta Cryptococcus spp. Flucytosine jarang digunakan sebagai terapi tunggal Candidiasis karena resistensi berkembang cepat dengan pengobatan tunggal. Flucytosine tidak aktif melawan jamur dimorfik atau jamur berfilamen. Obat ini belum tersedia di Indonesia.
Infus selama 20 hingga 40 menit.
Elektrolit (terutama kalium), darah lengkap, BUN, fungsi ginjal.
Contoh: Micafungin, Anidulafungin, Caspofungin (belum tersedia di Indonesia).
Menghambat 1,3-beta-D-glucan synthase menghasilkan penurunan pembentukan 1,3-beta-D-glucan yang merupakan polisakarida utama penyusun dinding sel Candida; menurunkan kandungan glucan menyebabkan ketidakstabilan osmotik dan lisis sel.
Caspofungin, Micafungin, dan Anidulafungin memiliki aktivitas yang serupa. Ketiganya aktif terhadap Candida spp, termasuk C. albicans, C. glabrata, C. dubliniensis, C. tropicalis, C. krusei; Aspergillus spp. Namun, tidak aktif terhadap Cryptococcus spp, endemic dimorphic fungi, Mucorales, Fusarium spp, atau Scedosporium spp.
Infus intravena selama 1 jam, dapat diberikan lebih lama untuk mencegah reaksi terkait infus.
Fungsi hati secara periodik, serum kreatinin, BUN, darah lengkap, kemerahan, gatal, dan bengkak pada wajah.
Infus intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih dari 1,1 mg/menit.
Fungsi liver, anafilaksis atau reaksi terkait infus.
Infus perlahan selama 1 jam, tidak boleh diberikan secara IV bolus.
Fungsi liver, reaksi anafilaksis, kemerahan pada kulit atau reaksi alergi, seperti pembengkakan pada wajah, sesak nafas, sensasi hangat.
Tabel 2 Pengobatan Fungal Pneumonia
Jenis Infeksi | Pilihan Utama | Alternatif | Keterangan |
Aspergillosis invansif (IPA)11 | IV Hari pertama Voriconazole 6 mg/kg/dosis tiap 12 jam, diikuti dengan 4 mg/kg/dosis tiap 12 jam. PO 200-300 mg tiap 12 jam. Pengobatan minimal selama 6-12 minggu tergantung keparahan, lokasi infeksi dan respon pasien. Pasien dengan gangguan sistem imun mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama. | Primer Liposomal Amphotericin B 3-5 mg/kg/hari IV; Isavuconazole 200 mg tiap 8 jam untuk 6 dosis, kemudian 200 mg/hari. Kasus yang mengancam jiwa -ABLC 5 mg/kg/hari IVCaspofungin pemberian pertama 70 mg/hari IV, dilanjutkan 50 mg/hari IV -Micafungin 100-150 mg/hari IV -Posaconazole, suspensi: 200 mg tiap 8 jam; Tablet: 300 mg tiap 12 jam pada hari pertama, selanjutnya 300 mg/hari; IV: 300 mg tiap 12 jam pada hari pertama, selanjutnya 300 mg/hari. -Itraconazole suspensi 200 mg tiap 12 jam | Terapi kombinasi tidak direkomendasikan untuk digunakan secara rutin. Penambahan agen lain atau mengganti dengan kelas obat lain untuk kasus yang mengancam jiwa dapat dipertimbangkan sesuai kondisi pasien. |
Cryptococcosis12 | Kasus ringan-sedang Fluconazole 400 mg/hari PO selama 6-12 bulan. | Itraconazole 200 mg tiap 12 jam PO, Voriconazole 200 mg tiap 12 jam PO, dan Posaconazole 400 mg tiap 12 jam PO dapat diberikan bila Fluconazole tidak tersedia atau dikontraindikasikan. | Jika Flucytosine tidak diberikan atau terapi dihentikan, pertimbangkan untuk memperpanjang durasi AmBd atau LFAmB selama setidaknya 2 minggu. Terkait toksisitas, AmBd dapat diganti dengan LFAmB pada minggu kedua |
Kasus berat AmBd 0,7-1 mg/kg/hari IV dan Flucytosine 100 mg/kg/hari PO dibagi dalam 4 dosis selama minimal 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan Fluconazole 400 mg/hari selama 8 minggu. | Bila pasien intoleran terhadap AmBd dapat diganti dengan liposomal AmB 3-4 mg/kg/hari IV atau ABLC 5 mg/kg/hari IV. | ||
Pneumocystis pneumonia (PCP)13 | Infeksi ringan hingga sedang TMP-SMX dengan dosis TMP 15-20 mg/kg/hari PO diberikan dalam 4 dosis terbagi selama 21 hari atau 2 tablet forte tiap 8 jam PO. Infeksi sedang hingga berat TMP-SMX dengan dosis TMP 15-20 mg/kg/hari IV diberikan dalam 3 atau 4 dosis terbagi selama 21 hari. Selanjutnya dapat diganti dengan sediaan tablet setelah terjadi perbaikan klinis. | – | PCP merupakan infeksi jamur yang diobati menggunakan antibiotik. |
Histoplasmosis8,14 | Kasus cukup parah hingga parah AmB liposomal 3-5 mg/kg/hari IV atau ABLC 5 mg/kg/hari IV selama 1-2 minggu diikuti dengan Itraconazole 200 mg tiap 12 jam PO selama 3 hari kemudian 200 mg tiap 12 jam selama total 12 minggu. | AmBd 0,7-1 mg/kg/hari IV selama 1-2 minggu dapat diberikan pada pasien dengan risiko rendah mengalami nefrotoksisitas. | Methylprednisolone 0,5-1 mg/kg/hari IV dapat diberikan selama minggu pertama dan kedua pada pasien dengan komplikasi pada pernapasan. |
Kasus ringan hingga sedang Itraconazole 200 mg tiap 12-24 jam selama 6-12 minggu PO. | – | Terapi diberikan pada pasien dengan gejala menetap >4 minggu. | |
Coccidioidomycosis15 | Kebanyakan kasus tidak membutuhkan terapi. Terapi diberikan untuk kasus sedang, berat atau infeksi berkepanjangan >6 minggu atau untuk pasien dengan PPOK, gagal ginjal kronis, gagal jantung kongesti, diabetes mellitus. Fluconazole 400 mg/hari PO atau Itraconazole 400 mg/hari PO selama 3-6 bulan. | – | |
Talaromycosis16 | AmB liposomal B 3-5 mg/kg/hari IV selama 2 minggu, diikuti dengan Itraconazole 200 mg tiap 12 jam PO selama 10 minggu, lalu diturunkan 200 mg tiap 24 jam PO untuk mencegah kekambuhan hingga pemeriksaan CD4 meningkat di atas 100 cells/mm3 selama minimal 6 bulan. | AmBd 0,7 mg/kg/hari IV selama 2 minggu, diikuti dengan Itraconazole 200 mg tiap 12 jam PO selama 10 minggu, diturunkan menjadi 200 mg tiap 24 jam PO. Bila AmB tidak tersedia Dosis muatan Voriconazole 6 mg/kg tiap 12 jam IV selama 1 hari, selanjutnya 4 mg/kg tiap 12 jam IV selama 2 minggu atau Dosis muatan Voriconazole 600 mg tiap 12 jam PO selama 1 hari, lalu 400 mg tiap 12 jam selama 2 minggu. Terapi dilanjutkan dengan Voriconazole 200 mg tiap 12 jam PO atau Itraconazole 200 mg tiap 12 jam PO selama maksimum 10 minggu. Selanjutnya, diberikan Itraconazole 200 mg tiap 24 jam PO. | Infeksi oportunistik pada pasien dengan HIV. |
Blastomycosis17 | Kasus cukup parah hingga parah Formulasi lipid AmB 3-5 mg/kg/hari atau AmBd 0,7-1 mg/kg/hari IV selama 1-2 minggu atau sampai terjadi perbaikan, diikuti dengan Itraconazole 200 mg tiap 8 jam PO selama 3 hari, lalu diturunkan 200 mg tiap 12 jam PO selama 6-12 bulan. Kasus ringan hingga sedang Itraconazole 200 mg tiap 8 jam PO selama 3 hari, lalu diturunkan 200 mg tiap 12-24 jam selama 6-12 bulan. | – |
*Singkatan: ABLC (Amphotericin B lipid complex); AmB (Amphotericin B), AmBd (Amphotericin B deoxycholate); LFAmB (Lipid formulations of AmB) terdiri dari ABLC dan AmB Liposomal; TMP-SMX (Sulfamethoxazole-Trimethoprim); IV (intravenous), PO (oral).
Baca juga Cedera Hati Akibat Obat https://rkzsurabaya.com/2023/10/09/cedera-hati-hepatitis-akibat-obat/
Referensi
1. Mandanas, R. Fungal Pneumonia. Medscape https://emedicine.medscape.com/article/300341-overview?form=fpf (2021).
2. Wahyuningish, R., Adawiyah, R., Sjam, R. & Prihartono, J. Serious fungal disease incidence and prevalence in Indonesia. Mycoses 64, (2021).
3. Rozaliyani, A., Jusuf, A., ZS, P. & Burhan, E. Infeksi Jamur Paru di Indonesia: Situasi Saat Ini dan Tantangan Di Masa Depan. J. Respirologi Indones. 39, (2019).
4. Limper, A., Knox, K., Sarosi, G. & Ampel, N. An Official American Thoracic Society Statement: Treatment of Fungal Infections in Adult Pulmonary and Critical Care Patients. Am. Thorac. Soc. (2010).
5. Centers for Disease Control and Prevention. Fungal Diseases. https://www.cdc.gov/fungal/index.html (2023).
6. Azar, M. M. A Diagnostic Approach to Fungal Pneumonia: An Infectious Diseases Perspective. Chest (2023).
7. Centers for Disease Control and Prevention. Fungal Community-Acquired Pneumonias. https://www.cdc.gov/fungal/diseases/community-acquired-pneumonia/index.html (2023).
8. Wolters Kluwer Clinical Drug Information, Lexicomp Application ver 7.3.3 Production. (2023).
9. Nett, J. & Andes, D. Antifungal Agents. Infect Dis Clin N Am (2015).
10. Farkas, J. Antifungal Agents. Internet Book of Critical Care (IBCC) https://emcrit.org/ibcc/antifungal/#spectrumbydrug (2023).
11. Patterson, T., Thompson, G., Denning, D., Fishman, J. & Hadley, S. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Aspergillosis: 2016 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin. Infect. Dis. 63, (2016).
12. Perfect, J. R., Dismukes, W. E., Dromer, F., Goldman, D. L. & Graybill, J. R. Clinical Practice Guidelines for the Management of Cryptococcal Disease: 2010 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin. Infect. Dis. 50, (2010).
13. Clinical Info HIV. Pneumocystis Pneumonia. https://clinicalinfo.hiv.gov/en/guidelines/hiv-clinical-guidelines-adult-and-adolescent-opportunistic-infections/pneumocystis?view=full (2019).
14. Wheat, L. J., Freifeld, A. G., Kleiman, M. B. & Baddley, J. W. Clinical Practice Guidelines for the Management of Patients with Histoplasmosis: 2007 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin. Infect. Dis. 45, (2007).
15. Galgiani, J., Ampel, N., Blair, J. & Catanzaor, A. 2016 Infectious Diseases Society of America (IDSA) Clinical Practice Guideline for the Treatment of Coccidioidomycosis. Clin. Infect. Dis. (2016).
16. National Institutes of Health, Centers for Disease Control and Prevention & HIV Medicine Association and Infectious Diseases Society of America. Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in Adults and Adolescents with HIV. (2019).
17. Chapman, S. W., Dismukes, W. E., Proia, L. A. & Bradsher, R. W. Clinical Practice Guidelines for the Management of Blastomycosis: 2008 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clin. Infect. Dis. 46, (2008).