Resistensi Antimikroba
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, resistensi antimikroba adalah kemampuan mikroba untuk bertahan hidup terhadap efek antimikroba sehingga tidak efektif untuk penggunaan klinis. Infeksi akibat bakteri resisten menyebabkan peningkatan waktu perawatan dan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik rasional atau antibiotik secara bijak ialah penggunaan antibiotik yang sesuai dengan penyebab infeksi dengan regimen dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping minimal dan dampak minimal terhadap munculnya mikroba resisten.
Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat dengan penggunaan antibiotik rasional. Oleh karena itu, kita harus mengambil bagian untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
Antibiotik profilaksis digunakan pada kasus bedah yang diberikan sebelum, saat dan setelah prosedur operasi. Antibiotik profilaksis setelah operasi paling lama diberikan 24 jam sejak pemberian pertama. Antibiotik profilaksis digunakan atas indikasi operasi bersih dan bersih terkontaminasi.
Penggunaan antibiotik bertujuan untuk mencegah kolonisasi atau berkembangnya bakteri yang masuk ke jaringan target saat operasi, sehingga mencegah terjadinya infeksi setelah operasi.
Jenis dan dosis. Antibiotik yang direkomendasikan adalah Cephalosporin generasi 1, yaitu Cefazolin 2 gram. Namun, pada pasien dengan berat badan >120 kg, dosis Cefazolin yang diberikan adalah 3 gram. Cefazolin terbukti dapat menekan kolonisasi kuman di area kulit yang akan disayat. Selain itu, Cefazolin juga terbukti kompatibel dengan zat anastetik dan kurang memicu mutasi bakteri.
Cara pemberian. Cefazolin diberikan sebagai dosis tunggal dalam 30-60 menit sebelum insisi kulit di kamar operasi. Antibiotik dilarutkan dalam NaCl 0,9% 100 ml dan diberikan secara IV drip selama 15 menit. Dosis dapat diulang jika pasien mengalami pendarahan (>1500 ml) atau operasi berlangsung ≥3 jam.
Antibiotik terapi terdiri dari terapi empiris, yaitu penggunaan antibiotik pada infeksi atau diduga infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya karena hasil kultur mikrobiologi belum tersedia dalam 24-72 jam, sedangkan jika sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola kepekaannya disebut sebagai terapi definitif. Penggunaan terapi empiris harus dievaluasi dalam waktu 48-72 jam.
Berdasarkan Kebijakan Rumah Sakit Katolik St. Vincentius a Paulo Surabaya, peresepan antibiotik dibagi menjadi 3 lini (AWaRe), yaitu:
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik, ditemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat, sedangkan di berbagai rumah sakit ditemukan penggunaan antibiotik tanpa indikasi sebesar 30-80%. Keputusan awal untuk menggunakan antibiotik ditentukan dengan penegakan diagnosis infeksi bakteri oleh dokter.
Gejala demam bukan merupakan penanda mutlak adanya infeksi. Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan pemeriksaan objektif yang menunjukkan tanda-tanda infeksi baik dengan pemeriksaan fisik atau pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi dapat meningkatkan terjadinya resistensi antibiotik.
Pemberian dosis sesuai dengan indikasi dan karakteristik pasien (usia, berat badan, penyakit penyerta dan kondisi medis tertentu) juga harus diperhatikan dalam terapi antibiotik. Beberapa antibiotik dengan waktu paruh eliminasi panjang membutuhkan dosis muatan (loading dose) yang bertujuan untuk memperoleh kadar efektif secepat mungkin.
Sebagai contoh Tigecycline dosis tunggal memiliki waktu paruh eliminasi 27 jam, tanpa dosis muatan akan mencapai kadar tunak atau kadar efektif sekitar 4,8 hari. Oleh karena itu, Tigecycline membutuhkan dosis muatan 100 mg pada hari pertama, diikuti dengan 50 mg tiap 12 jam.
Selain itu, perubahan metabolisme dan eliminasi obat juga dipengaruhi oleh penyakit penyerta, seperti gangguan ginjal dan hepar, sehingga beberapa obat membutuhkan penyesuaian dosis agar tidak menyebabkan akumulasi dan toksisitas obat. Akan tetapi, dosis muatan antibiotik tidak perlu disesuaikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Antibiotik dikatakan semakin poten bila KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum) semakin kecil untuk suatu mikroba. Kedua parameter ini menggambarkan potensi antibiotik, namun tidak menerangkan aktivitas antibiotik ketika kadarnya berubah terhadap waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk memadukan konsep farmakokinetik dan farmakodinamik dari antibiotik.
Kemampuan antibiotik untuk membunuh bakteri patogen, bergantung pada konsentrasi (concentration dependent killing), waktu (time dependent killing) dan efek persisten atau Post Antibiotic Effect (PAE) yang merupakan kemampuan antibiotik untuk menekan pertumbuhan bakteri setelah pemberian antibiotik.
Pada kelompok ini, tingkat dan kemampuan membunuh antibiotik meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi obat dibandingkan nilai KHM-nya. Gambaran ini didapat menggunakan parameter konsentrasi maksimal (Cmaks) dibandingkan KHM, umumnya Cmaks lebih besar 5-10 kali dibandingkan KHM. Jika perbandingan Cmaks dan KHM lebih rendah, maka mikroba berisiko tinggi mengalami resistensi antibiotik, sebaliknya jika rasio lebih tinggi maka berisiko menyebabkan toksisitas.
Kelompok ini juga memiliki efek persisten atau PAE, karena masih dapat memberikan efek meskipun kadar obat di dalam darah berada di bawah KHM. Oleh karena itu, sering ditemukan pemberian antibiotik dosis tinggi dengan interval waktu yang panjang, misalnya tiap 24 jam.
Kemampuan membunuh antibiotik pada kelompok ini ditentukan oleh waktu obat berada di tempat terikatnya dan optimal jika kadar obat di dalam darah selalu berada di atas KHM selama interval pemberian dosis berikutnya. Oleh karena itu, pada antibiotik yang bergantung waktu, biasanya diberikan dosis kecil dengan interval yang pendek, misalnya tiap 6 hingga 8 jam.
Terdapat dua jenis karakteristik dari kelompok ini, yaitu tidak memiliki PAE atau PAE minimal dan PAE moderat-panjang. Efektivitas antibiotik dengan PAE moderat-panjang kurang bergantung pada waktu, tetapi lebih dipengaruhi oleh kadar obat yang harus lebih besar dari KHM. Jadi, apabila kadar obat di bawah KHM, maka antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada pasien yang membutuhkan penyesuaian dosis (contohnya pasien dengan gangguan ginjal), dosis kelompok antibiotik yang bergantung waktu diturunkan dengan frekuensi pemberian yang tetap. Sedangkan pada antibiotik yang bergantung konsentrasi lebih dipilih untuk memberikan dosis tetap dengan interval yang lebih panjang.7
Jadi, selain dosis yang tepat, frekuensi atau waktu pemberian antibiotik juga harus diperhatikan untuk mencapai target terapi, menghindari resistensi bakteri terhadap antibiotik, dan menghindari efek yang tidak diinginkan pada pasien.
Pola Aktivitas Antibiotik Berdasarkan Parameter Farmakodinamik5,6,8
Profil Farmakodinamik | Kelas Antibiotik |
Bergantung konsentrasi | Aminoglycosides (Amikacin, Gentamicin, Streptomycin), Lipopeptides (Daptomycin), Fluoroquinolone (Levofloxacin, Ciprofloxacin, Moxifloxacin), Metronidazole |
Bergantung waktu (PAE minimal atau tidak ada) | Penicillins, Cephalosporins, Carbapenems, Glycopeptide (Vancomycin, Teicoplanin), Linezolid, Macrolides (Erythromycin, Clarithromycin) |
Bergantung waktu (PAE moderate-panjang) | Azithromycin, Clindamycin, Oxazolidinones, Tetracycline, Vancomycin |
Data terbatas | Sulfamethoxazole-trimethoprim |
Durasi pemberian antibiotik yang optimal diterapkan dengan menggunakan durasi terpendek yang diperlukan untuk mendapatkan efikasi klinis dan mikrobiologi. Antibiotik dengan durasi penggunaan yang terlalu singkat dapat menyebabkan resistensi antibiotik, sedangkan jika berkepanjangan selain menyebabkan resistensi antibiotik, juga berpotensi menimbulkan efek samping, ketidakpatuhan dan peningkatan biaya. Respon pasien terhadap terapi dapat dinilai dengan kondisi klinis (contoh: demam, denyut nadi), hasil laboratorium (seperti nilai leukosit), radiologi, dan parameter mikrobiologi. 8,9
Spektrum antibiotik yang digunakan harus disesuaikan dengan bakteri penyebab infeksi. Meskipun antibiotik tunggal dengan spektrum sempit lebih direkomendasikan, namun pada beberapa pasien juga dibutuhkan penggunaan kombinasi antibiotik untuk memperoleh efek sinergis dan memperluas spektrum anti kuman pada kasus tertentu.
Catatan:
Saat ini, sudah beredar antibiotik golongan Cephalosporin generasi 5, yaitu Ceftaroline fosamil yang memiliki aktivitas terhadap MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus), namun tidak pada Pseudomonas aeruginosa.
Selain itu, Ceftazidime avibactam dan Ceftolozane tazobactam yang merupakan antibiotik kombinasi golongan Cephalosporin juga telah tersedia di Indonesia. Kedua antibiotik tersebut, tidak direkomendasikan sebagai terapi empiris rutin, melainkan untuk pasien dengan atau berisiko resisten terhadap bakteri patogen gram negatif, seperti Pseudomonas aeruginosa yang resisten terhadap banyak antibiotik.
Penggantian antibiotik intravena ke oral secepat mungkin pada pasien dengan kondisi klinis yang stabil dapat menurunkan lama rawat inap dan biaya pasien. Antibiotik intravena dapat diganti, apabila setelah 24-28 jam pasien memenuhi kriteria berikut ini:11
Penggunaan antibiotik rasional melibatkan diagnosis yang akurat, penggunaan dosis, durasi, cara dan waktu pemberian yang tepat. Memahami spektrum aktivitas antibiotik juga dapat membantu penggunaan antibiotik secara rasional dan menghambat terjadinya resistensi antibiotik.
Pustaka
1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. 2021
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:2406/MENKES/PER/XII/2011. Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik
3. Shargel L. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. 2nd ed. Surabaya: Airlangga University Press; 1988
4. Wolters Kluwer Clinical Drug Information, Lexicomp Application ver 4.1.1 [Internet]. Hudson; 2018. Available from: www.lexi.com
5. Hakim L. Farmakokinetik Klinik. 1st ed. Yogyakarta: Bursa Ilmu; 2018
6. Quintiliani R. Pharmacodynamics of Antimicrobial Agents: Time-Dependent vs. Concentration-Dependent Killing [Internet]. Antimicrobe. p. 1–4. Available from: www.antimicrobe.org
7. Eyler RF, Shvets K. Clinical pharmacology of antibiotics. Clin J Am Soc Nephrol. 2019;14(7):1080–90
8. Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc. 2011;86(2):156–67
9. Slama TG, Amin A, Brunton SA, File TM, Milkovich G, Rodvold KA, et al. A clinician’s guide to the appropriate and accurate use of antibiotics: The Council for Appropriate and Rational Antibiotic Therapy (CARAT) criteria. Am J Med. 2005;118(7 SUPPL.):1–6
10. US Departement of Veterans Affairs. General Spectrum of Antibiotics. In 2019
11. NHS. IV to oral switch Guideline [Internet]. Gloucestershire Hospitals. 2020 [cited 2020 Apr 2]. Available from: https://www.gloshospitals.nhs.uk/gps/antimicrobial-resources/adult-antibiotic-treatment-guidelines-site-infection/iv-oral-switch-guideline/
2 Comments
sederhana, mudah dimengerti, Ok, matur nuwun
Terima kasih, semoga bermanfaat