Asma merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan peradangan kronis saluran napas.
Diagnosis asma dapat ditegakkan apabila seseorang mengalami lebih dari satu gejala pernapasan, gejala memberat pada malam hari atau subuh, waktu dan intensitas gejala bervariasi, dan gejala biasanya dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca, atau iritan seperti asap kendaraan, asap rokok, dan bau menyengat.
Tujuan jangka panjang pengobatan asma adalah untuk mengontrol gejala asma dan meminimalkan risiko asma di kemudian hari, meliputi: kematian, eksaserbasi, gangguan aliran napas menetap, serta efek samping pengobatan. Gejala yang tidak terkontrol akan meningkatkan risiko terjadinya serangan/eksaserbasi, yaitu munculnya gejala asma secara tiba – tiba dan memburuk dalam waktu cepat. Asma yang terkontrol ditandai dengan tidak munculnya gejala asma pada siang hari, tidak terbangun pada malam hari akibat asma, tidak memerlukan obat reliever, dan tidak ada hambatan ketika beraktivitas, termasuk saat berolahraga.
Berdasarkan kegunaannya, obat asma dikategorikan menjadi 3 yaitu:
Reliever merupakan bronkodilator kerja cepat untuk mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan digunakan saat muncul gejala asma atau saat terjadi eksaserbasi. Reliever tidak digunakan secara rutin, namun dapat digunakan sebagai pencegahan jangka pendek bronkokonstriksi yang dipicu olahraga. Contoh: short-acting beta-2 agonist (SABA), kortikosteroid sistemik, kombinasi kortikosteroid inhalasi (ICS)-Formoterol, dan Ipratropium.
Controller digunakan dalam jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Contoh: ICS dosis rendah, kombinasi ICS dan long acting Beta-2 agonist (LABA), leukotriene receptor antagonist (LTRA), Tiotropium, dan agen biologi.
Terapi tambahan diberikan pada pasien dengan asma berat yang mengalami gejala persisten dan/atau eksaserbasi meskipun pemberian obat controller dosis tinggi dan pengendalian faktor risiko asma sudah dilakukan.
Agonis beta-2 hanya boleh digunakan sesuai kebutuhan untuk menghilangkan gejala. Berdasarkan durasi kerjanya, agonis beta-2 digolongkan menjadi 2, yaitu short acting beta-2 agonist (SABA) dan long acting acting beta-2 agonist (LABA).
Mekanisme: Agonis beta-2 berikatan dengan reseptor beta-2 adrenergik di paru-paru dan menyebabkan efek bronkodilatasi/relaksasi otot saluran pernapasan.
SABA | LABA | |
Nama Obat | Salbutamol / Albuterol, Terbutaline, dan Fenoterol | Salmeterol dan Formoterol |
Efek samping | Takikardia (1%-7%), tremor (5%-38%), mual (10%), faringitis (14%), bronkitis (≥5%) | Tremor (1,9%-8,8%), diare (4,9%), mual (4,9%) |
Durasi kerja | ± 3 jam | >12 jam |
Indikasi | Reliever | Reliever dan controller (dalam bentuk kombinasi ICS-LABA) |
Penggunaan secara tunggal | Tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan risiko eksaserbasi, sehingga dikombinasi dengan ICS | Tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan risiko eksaserbasi, sehingga dikombinasi dengan ICS |
Penggunaan secara rutin | Tidak direkomendasikan karena akan memperburuk kontrol asma dan menyebabkan penurunan regulasi reseptor beta | Dapat digunakan secara rutin dalam bentuk kombinasi ICS-LABA |
Mekanisme: Kortikosteroid bekerja dengan cara mengurangi respon inflamasi saluran napas terhadap alergen. Berdasarkan rute pemberiannya, kortikosteroid dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
Kortikosteroid oral (OCS) memiliki efektivitas yang sama dengan kortikosteroid injeksi. Kortikosteroid sistemik digunakan saat terjadi eksaserbasi asma atau pada asma yang tidak terkontrol. Contoh OCS: Prednisolone, Methylprednisolone, Hydrocortisone, dan Dexamethasone.
Nama Obat | Dosis |
Prednisolone | Oral: 40-50 mg/hari selama 5-7 hari |
Methylprednisolone | Oral, IV: 40-60 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis terbagi selama 5-7 hari. Pada pasien kritis dosis dapat ditingkatkan 60-80 mg tiap 6-12 jam |
Dexamethasone | Oral: 12-16 mg/hari hanya untuk 1-2 hari |
Hydrocortisone | Oral: 200 mg dalam dosis terbagi selama 5-7 hari |
Kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis rendah dan dosis sedang digunakan untuk mengontrol asma sedangkan ICS dosis tinggi digunakan saat terjadi eksaserbasi asma atau pada asma yang tidak terkontrol. Contoh ICS adalah Fluticasone propionate, Budesonide, Beclometashone dipropionate, dan Mometasone furoate.
Keterangan | Inhalasi | Oral |
Onset | Cepat ( <5 menit) | Lambat |
Efek samping obat | Minimum | Lebih besar |
Dosis | kecil (mcg) | Besar (mg) |
Target organ | Langsung | Tidak langsung |
Rekomendasi penggunaan (eksaserbasi dan tidak terkontrol) berdasarkan pedoman asma | Dianjurkan sebagai pilihan pertama | Sebagai alternatif |
Mekanisme: Antimuskarinik bekerja dengan menimbulkan efek bronkodilator jalan napas. Antimuskarinik terdiri dari short acting muscarinic antagonist (SAMA), contoh: Ipratropium dan long acting muscarinic antagonist (LAMA), contoh: Tiotropium. Ipratropium dapat dikombinasi dengan SABA pada penanganan eksaserbasi asma, sedangkan Tiotropium digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengontrol asma.
Mekanisme: Leukotriene receptor antagonist memberikan efek bronkodilatasi, mengurangi inflamasi, serta memperbaiki gejala asma dan fungsi paru. Leukotriene receptor antagonist digunakan sebagai terapi alternatif untuk mengontrol asma, namun kurang efektif bila dibandingkan ICS dan LABA. Leukotriene receptor antagonist dapat dikombinasi dengan ICS. Contoh LTRA adalah Zafirlukast dan Montelukast.
Agen biologi dapat dipertimbangkan pada pasien asma berat yang dipicu alergi atau memiliki penanda eosinofil dan gejalanya tidak terkontrol dengan penggunaan kombinasi ICS dosis tinggi–LABA. Agen biologi terdiri dari anti IgE (contoh Omalizumab), anti–IL5 (contoh Mepolizumab dan Resilizumab), anti reseptor IL4 (contoh Dupilumab).
Penggunaan Aminophylline injeksi tidak disarankan pada penanganan eksaserbasi akut, begitu juga dengan penggunaan Theophylline sustained release secara rutin untuk mengontrol asma. Hal ini berkaitan dengan efektivitas dan profil keamanan yang rendah. Theophylline sustained release dosis rendah dapat dikombinasi dengan ICS dosis rendah sebagai alternatif controller, namun kurang efektif dibanding kombinasi ICS dosis rendah–LABA.
Terapi asma harus segera diberikan setelah diagnosis asma ditegakkan, rekomendasi terapi untuk pengobatan awal asma dapat dilihat pada tabel 5.
Gejala | Terapi awal yang dipilih |
Semua pasien dengan gejala asma | Pemberian SABA tunggal (tanpa ICS) tidak direkomendasikan. |
Gejala asma jarang (<2 kali dalam sebulan) | Kombinasi ICS dosis rendah–Formoterol bila diperlukan. Pilihan alternatif, penggunaan ICS dosis rendah saat SABA digunakan. |
Gejala asma muncul atau membutuhkan reliever ≥2 kali dalam sebulan | ICS dosis rendah + SABA bila diperlukan atau kombinasi ICS dosis rendah–Formoterol bila diperlukan. Pilihan alternatif: LTRA (kurang efektif dibanding ICS) atau penggunaan ICS ketika SABA digunakan. |
Gejala asma berat hampir setiap hari, atau terbangun karena asma ≥1 kali seminggu, terutama jika terdapat faktor risiko | Kombinasi ICS dosis rendah–LABA sebagai controller dan reliever atau ICS dosis sedang dengan SABA bila diperlukan sebagai reliever. |
Asma muncul pertama kali dalam kondisi berat dan tidak terkontrol, atau dengan eksaserbasi | OCS jangka pendek (5-7 hari), lalu dimulai terapi ICS dosis tinggi sebagai controller. |
Setelah pengobatan asma dimulai, terapi selanjutnya ditentukan berdasarkan respon masing-masing individu pada pengobatan. Terapi dapat ditingkatkan atau diturunkan sesuai tahapan pengobatan (Tabel 6). Tahap pengobatan ditingkatkan jika asma tidak terkontrol dan terjadi eksaserbasi asma, namun perlu dipastikan terlebih dahulu diagnosis, cara penggunaan inhaler sudah benar, dan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. Tahap pengobatan asma diturunkan jika gejala terkontrol selama 3 bulan dan risiko terjadinya serangan rendah.
Catatan:
Kontrol asma yang buruk juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma. Derajat kontrol asma dapat dinilai dari 4 pertanyaan berikut:
Keterangan:
Berdasarkan keparahannya asma dapat dibagi atas empat klasifikasi, yaitu intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat. Untuk menentukan klasifikasi tersebut didasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan faal paru.
Keterangan: APE (Arus Puncak Ekspirasi), VEP1 (Volume Ekspirasi Detik Pertama)
Pada keadaan eksaserbasi, serangan asma dapat bervariasi dari ringan hingga mengancam jiwa. Derajat eksaserbasi dapat dinilai dari gejala dan tanda saat terjadi serangan asma.
Eksaserbasi asma berat merupakan keadaan darurat medis yang mengancam jiwa, dan harus mendapatkan penanganan di IGD.