Serangan Jantung NSTEMI. Infark miokard adalah kematian sel otot jantung karena kekurangan oksigen. Infark miokard tanpa peningkatan segmen ST atau Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) merupakan salah satu jenis Sindrom Koroner Akut (SKA). Masyarakat juga mengenal penyakit ini dengan serangan jantung ringan. Namun, meski nampak ringan, penyakit ini tetap membutuhkan penanganan yang tepat untuk mencegah komplikasi penyakit.
Pasien mengalami serangan jantung NSTEMI ketika muncul gejala nyeri dada akut, perubahan gambaran elektrokardiogram (EKG), peningkatan kadar troponin, namun tanpa kenaikan segmen ST yang menetap. Berbeda dengan ST-elevation myocardial infarction (STEMI) yang mengalami penyumbatan total, serangan jantung NSTEMI menandakan penyumbatan sebagian di pembuluh darah arteri koroner.1
Pemeriksaan EKG 12-lead sebagai diagnostik pertama pada pasien yang sekiranya mengalami SKA. Pasien sebaiknya menerima pemeriksaan dalam 10 menit sejak tiba di rumah sakit atau idealnya saat kontak medis pertama dengan tenaga kesehatan.
Namun, pada lebih dari 30% pasien NSTEMI, hasil pemeriksaan EKG dapat ditemukan normal atau mengalami depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan perubahan gelombang T.
Pemeriksaan marka jantung bertujuan untuk melihat kerusakan pada sel otot jantung, contohnya troponin I/T. Parameter troponin I/T merupakan pemeriksaan pelengkap untuk mendiagnosis ketika dokter mencurigai pasien mengalami NSTEMI. Pemeriksaan troponin lebih sensitif dan spesifik daripada creatin kinase (CK), myocardial band isoenzyme (CK-MB) dan myoglobin.
Namun, pasien dapat menggunakan pemeriksaan CK-MB apabila tidak tesedia pemeriksaan troponin. Nilai CKMB akan meningkat dalam waktu 4 hingga 6 jam, mencapai puncak saat 12 jam dan menetap sampai 2 hari.
Jika tersedia, pemeriksaan high-sensitivity cardiac troponin (hs-CTN) lebih baik daripada troponin I/T. Pada pasien yang mengalami infark miokard, kadar troponin akan meningkat dengan cepat. Biasanya dalam 1 jam setelah gejala awal bila menggunakan parameter hs-CTN, sedangkan troponin I/T meningkat 2 hingga 4 jam, serta akan menetap selama beberapa hari.
Pemeriksaan angiografi koroner atau Invasive Coronary Angiography (ICA) bertujuan untuk melihat keberadaan dan tingkat keparahan penyakit jantung koroner. Oleh karena itu, pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas harus segera melakukan pemeriksaan ini. Apabila tersedia, pemeriksaan non-invansif dengan Coronary tomography angiography (CCTA) dapat menjadi pilihan alternatif ICA.
Penilaian risiko kematian, prognosis penyakit dan risiko pendarahan dapat membantu tenaga kesehatan untuk mengambil keputusan klinis dalam penanganan SKA. Prediktor yang dapat digunakan sebagai berikut.
Skor Global Registry of Acute Coronary Events (GRACE) bertujuan untuk memprediksi risiko kematian di rumah sakit, 6 bulan, 1 tahun dan 3 tahun kemudian.
Parameter skor GRACE terdiri dari, usia, tekanan darah sistolik, denyut nadi, serum kreatinin, henti jantung saat tiba di rumah sakit, peningkatan marka jantung, deviasi segmen ST dan kelas Killip. Skor GRACE dapat diakses melalui link berikut https://www.outcomes-umassmed.org/riskmodelsgraceorig.aspx.
Pendarahan pada pasien NSTEMI dapat meningkatkan risiko kematian, sehingga juga perlu diperhitungkan dalam menentukan pilihan penggunaan antitrombotik dan keputusan melakukan strategi invasif.
Perhitungan risiko pendarahan dapat menggunakan skor CRUSADE yang dapat diakses melalui link berikut https://www.mdcalc.com/crusade-score-post-mibleeding-risk.
Tidak hanya memberikan kenyamanan bagi pasien, mengurangi rasa nyeri juga berhubungan dengan penurunan aktivasi simpatik yang dapat menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
Morphine intravena merupakan analgesik yang paling sering digunakan, namun penggunaannya dapat mengganggu penyerapan dan mengurangi efek dari antiplatelet, seperti Clopidogrel, Ticagrelor, dan Prasugrel yang berisiko menyebabkan kegagalan pengobatan dini.
Oksigen umumnya diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen (SaO2)<90% atau pasien dengan distress respirasi. Akan tetapi, ESC tidak merekomendasikan pemberian rutin pada pasien dengan SaO2 >90%.
Obat penenang. Kecemasan merupakan respon alami terhadap rasa sakit yang biasa terjadi pada pasien dengan infark miokard. Dokter dapat mempertimbangkan pemberian obat penenang, seperti golongan Benzodiazepine pada pasien yang sangat cemas.
Pemberian Nitrat intravena (IV) lebih efektif daripada secara sublingual untuk mengurangi gejala dan resolusi depresi segmen ST. Dosis Nitrat disesuaikan hingga gejala membaik, dan pada pasien hipertensi sampai tekanan darah normal, kecuali jika pasien mengalami efek samping. Hentikan penggunaan Nitrat ketika gejala sudah terkontrol.
Penggunaan beta blockers dapat mengurangi konsumsi oksigen dengan menurunkan detak jantung, tekanan darah dan kontraktilitas miokard. Obat ini direkomendasikan bagi pasien NSTEMI, khususnya bila mengalami hipertensi dan/atau takhikardia, serta tidak terdapat kontra indikasi.
Pasien dengan riwayat penggunaan beta blockers kronis tetap melanjutkan penggunaan obat tersebut, kecuali bila termasuk kelas Killip ≥III. Kelas Killip merupakan penentuan risiko berdasarkan indikator klinis gagal jantung untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari.
Antitrombotik merupakan pengobatan yang wajib untuk pasien serangan jantung NSTEMI baik dengan atau tanpa manajemen invasif.
Dual Antiplatelet Therapy (DAPT) berupa kombinasi Aspirin dan inhibitor P2Y12 merupakan terapi standar yang direkomendasikan pada pasien yang mengalami NSTEMI.
Dosis muatan 150-300 mg PO, selanjutnya dosis pemeliharaan 75-100 mg PO, 1 kali sehari. Semua pasien tanpa kontra indikasi dan tanpa mempertimbangkan rencana strategi pengobatan harus mendapatkan Aspirin.
Pasien dapat menggunakan Inhibitor reseptor P2Y12 bersama dengan Aspirin, serta tetap melanjutkan penggunaan selama 12 bulan, kecuali pada pasien yang memiliki kontra indikasi atau risiko pendarahan yang tinggi.
Dosis muatan 60 mg PO, selanjutnya dengan dosis pemeliharaan 10 mg/hari atau 5 mg/hari pada pasien dengan berat badan (BB) <60 kg atau pasien usia ≥75 tahun. Pasien dengan riwayat stroke merupakan kontra indikasi untuk menerima Prasugrel. Meski demikian, Prasugrel lebih dipilih daripada Ticagrelor pada pasien yang akan menjalani PCI. Prasugrel masih belum tersedia di Indonesia.
Baik pasien yang menjalani prosedur invasif maupun konservatif dapat menggunakan Ticagrelor. Dosis muatan 180 mg PO, selanjutnya menggunakan dosis pemeliharaan 90 mg, 2 kali sehari.
Dosis muatan 300-600 mg PO, selanjutnya dengan dosis pemeliharaan 75 mg, 1 kali sehari. Clopidogrel memiliki aktivitas inhibisi platelet yang kurang kuat, sehingga hanya digunakan ketika Prasugrel atau Ticagrelor tidak tersedia, kontra indikasi atau pasien tidak dapat menoleransi penggunaannya.
Dosis awal IV bolus 30 mcg/kg, selanjutnya dengan infus 4 mcg/kg/menit setidaknya selama 2 jam atau selama prosedur berlangsung. Pemberian Cangrelor pada pasien yang akan menjalani PCI. Cangrelor masih belum tersedia di Indonesia.
Pasien dengan anatomi koroner yang belum pasti dan akan menerima strategi invasif awal tidak perlu mendapatkan inhibitor reseptor P2Y12 rutin.
Dokter dapat mempertimbangkan penggunaan Inhibitor GP IIb/IIIa jika terdapat bukti tidak adanya aliran (reflow) atau pasien mengalami komplikasi trombotik.
IV bolus pertama Eptifibatide 180 mcg/kg, selanjutnya dengan dosis 2 mcg/kg/menit. Pemberian dosis IV bolus kedua dengan jarak 10 menit dari pemberian IV bolus pertama. Infus dapat diberikan selama 18 jam.
IV bolus 25 mcg/kg selama 3 menit, selanjutnya menggunakan infus dengan dosis 0,15 mcg/kg/menit selama 18 jam. Namun, obat ini masih belum tersedia di Indonesia.
Manajemen invasif. UFH merupakan terapi standar pada pasien NSTEMI, karena memiliki profil risiko dan keuntungan yang baik. Jika pasien tidak mendapatkan inhibitor GP IIb/IIIa, dosis UFH 70-100 IU/kg IV bolus. Sedangkan jika menggunakan inhibitor GP IIb/IIIa, dosis UFH 50-70 IU/kg IV bolus.
Manajemen konservatif. UFH 60 IU/kg, maksimum 5000 IU IV bolus, selanjutnya dosis 12 IU/kg/jam, maksimum 1000 IU/jam. Sesuaikan laju obat hingga mencapai target. Pasien dapat menerima UFH selama ≥48 jam atau hingga pelaksanaan manajemen invasif.
Manajemen invasif. Enoxaparin dengan dosis 0,5 mg/kg, pemberian secara IV bolus.
Manajemen konservatif. Dosis Enoxaparin 1 mg/kg SC tiap 12 jam selama di rumah sakit atau hingga pelaksanaan manajemen invasif.
Dosis awal Bivalirudin 0,75 mg/kg IV bolus, selanjutnya dengan infus 1,75 mg/kg/jam sampai 4 jam setelah prosedur selesai. Namun, obat ini masih belum tersedia di Indonesia.
Manajemen invasif. Fondaparinux dengan dosis 2,5 mg/hari SC, penggunaan hanya sebelum prosedur PCI.
Manajemen konservatif. Pemberian Fondaparinux 2,5 mg/hari SC selama di rumah sakit atau hingga pelaksanaan manajemen invasif.
Rivaroxaban dengan dosis pemeliharaan 2,5 mg, 2 kali sehari bersama dengan Aspirin untuk pengobatan jangka panjang sebagai pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular.
Strategi invasif dengan angiografi koroner bertujuan untuk meyakinkan penyebab nyeri dada dan disarankan untuk pasien yang memenuhi salah satu dari kriteria risiko tinggi dan sangat tinggi yang terdapat pada tabel di bawah ini.
Kriteria | Tata Laksana | |
Risiko Sangat Tinggi | – Hemodinamik tidak stabil – Syok kardiogenik – Nyeri dada berulang atau menetap – Aritmia yang mengancam jiwa – Komplikasi infark miokard – Gagal jantung akut yang berhubungan dengan NSTEMI – Depresi segmen ST >1 mm/6 leads disertai elevasi segmen ST aVr dan/atau V1 | Strategi invasif segera dalam waktu <2 jam. |
Risiko Tinggi | – Diagnosis NSTEMI – Perubahan segmen T atau segmen ST yang dinamis baik simptomatis atau tanpa gejala – Henti jantung yang diresusitasi tanpa peningkatan segmen ST atau syok kardiogenik – Skor GRACE >140 | Strategi invasif awal dalam waktu <24 jam. |
Risiko Rendah | Tidak memiliki kriteria risiko sangat tinggi atau risiko tinggi | Strategi invasif selektif. |
Pasien dengan SKA berisiko sangat tinggi untuk mengalami kejadian kardiovaskular. Oleh karena itu, pasien harus tetap menggunakan Statin, meski memiliki nilai LDL yang normal. Contoh, Atorvastatin, Rosuvastatin, Pravastatin.
Target LDL yang direkomendasikan adalah <55 mg/dl dan untuk mengurangi setidaknya 50% jika nilai LDL awal antara 70-135 mg/dl. Jika target LDL tidak tercapai setelah 4-6 minggu dengan dosis maksimal statin, maka perlu menambahkan Ezetimibe.
Penggunaan inhibitor ACE (Angiotensin Converting Enzyme) atau ARBs (Angiotensin Receptor Blockers) direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan penurunan LVEF <40%, diabetes atau CKD, kecuali kontra indikasi. Kedua obat ini dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat kejadian kardiovaskular. Contoh inhibitor ACE yaitu Captopril, Ramipril, Lisinopril. Sedangkan golongan ARBs, seperti Candesartan, Losartan, Valsartan.
Beta blockers direkomendasikan pada pasien dengan disfungsi sistolik LV atau gagal jantung dengan penurunan LVEF <40%. Dokter dapat mempertimbangkan penggunaan beta blockers jangka panjang pada pasien dengan riwayat infark miokard untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat kejadian kardiovaskular. Contohnya, Atenolol, Bisoprolol, Carvedilol.
MRAs direkomendasikan pada pasien dengan penurunan LVEF <40%, gagal jantung atau diabetes untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat kejadian kardiovaskular. Contoh MRAs, seperti Eplerenone, Spironolactone.
Penggunaan PPIs direkomendasikan pada pasien yang mendapatkan antiplatelet, antirombotik atau antikoagulan, tetapi memiliki risiko tinggi mengalami pendarahan gastrointestinal. Contohnya, Lansoprazole, Pantoprazole.
Ketika menggunakan Clopidogrel, sebaiknya menghindari penggunaan Omeprazole atau Esomeprazole, karena dapat menurunkan efektivitas Clopidogrel.
REFERENSI
1. Collet J, Thiele H, Barbato E, Barthelemy O, Bauersachs J, Bhatt DL. 2020 ESC Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-segment elevation. Eur Heart J. 2020;00:1–79.
2. Irmalita, Dafsah A Juzar, Andrianto, Budi Yuli Setianto, Daniel PL Tobing, Doni Firman, et al. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Perhimpun Dr Spes Kardiovask Indones. 2015;3:1–88.
Baca juga Sindrom Koroner Akut, STEMI