Infeksi novel Corona virus (COVID-19) akibat Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dapat menyebabkan komplikasi berupa kejadian koagulopati, yaitu gangguan sistem pembekuan darah sehingga dapat terbentuk bekuan darah (trombus) di vena, arteri, atau sistemik.3 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan koagulasi merupakan salah satu penyebab kematian pasien COVID-19 derajat berat, berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Trombosis dan tromboemboli yang terjadi pada COVID-19 melibatkan 3 hal, yaitu: 2
Selain karena invasi virus SARS-CoV-2 secara langsung, kerusakan endotel juga dapat terjadi melalui proses berikut ini:
Masuknya SARS-CoV-2 pada sel inang akan memicu munculnya sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-2, IL-6, TNF alfa, dan lainnya. Pada pasien COVID-19 derajat berat, respon imun ini dapat berlebihan dan menyebabkan badai sitokin sistemik yang mencetuskan terjadinya systemic inflammatory response syndrome (SIRS). SIRS dapat menyebabkan kerusakan endotel sistemik dan keadaan hiperkoagulasi yang meningkatkan risiko terjadinya makrotrombosis dan mikrotrombosis sistemik.2,4
Manifestasi makrotrombosis dapat berupa tromboemboli vena misalnya Deep vein Thrombosis (DVT) dan emboli paru, atau tromboemboli arteri misalnya stroke; sedangkan manifestasi mikrotrombosis berperan pada proses Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan kegagalan multi organ.2,4
Hipoksia terkait COVID-19 dapat menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan aliran darah yang berkontribusi terhadap kerusakan endotel. Selain itu, hipoksia juga dapat mengubah sifat dasar antitrombotik dan antiinflamasi pada endotel menjadi prokoagulan dan proinflamasi. Hiperinflamasi yang terjadi akan menyebabkan peningkatan aktivasi proses koagulasi dan produksi trombin berlebihan.2,4
The International Society of Thrombosis Hemostasis (ISTH) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium hemostasis untuk menilai risiko perburukan koagulopati menjadi Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). DIC merupakan kondisi serius ketika terjadi aktivasi koagulasi yang meningkat, persisten, dan menyeluruh, serta biasanya menyebabkan pembentukan mikrotrombus pada mikrovaskular. Pada saat yang sama, konsumsi trombosit dan protein koagulasi dapat menginduksi pendarahan masif.
Abnormalitas sistem hemostasis pada pasien dengan DIC berupa hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis. Ketika hiperfibrinolisis dominan, perdarahan merupakan gejala yang utama; sedangkan ketika hiperkoagulasi yang dominan, gagal organ merupakan gejala yang utama. Kriteria DIC tertera pada Tabel 1.
Parameter hasil pemeriksaan pada DIC meliputi:4
D-dimer merupakan produk degradasi fibrin yang terbentuk selama proses degradasi bekuan darah oleh fibrinolisis. Peningkatan D-dimer dalam darah merupakan penanda kecurigaan trombosis. Sebuah penelitian oleh Cui et al., menunjukkan bahwa D-dimer >1500 ng/mL merupakan prediktor tromboemboli vena pada pasien COVID-19 dengan sensitivitas 85% dan spesifisitas 88,5%.
Perlu kehati-hatian dalam melakukan interpretasi kadar D-dimer pada pasien usia lanjut dan jika terdapat penyakit penyerta seperti gangguan hati atau penyakit kardiovaskular yang dapat meningkatkan kadar D-dimer meski tanpa adanya infeksi.
Pemanjangan PT >3 detik atau aPTT >5 detik merupakan penanda koagulopati dan prediktor komplikasi trombotik pada pasien COVID-19.
Pemeriksaan fibrinogen penting untuk menilai perburukan atau diagnosis awal terjadinya DIC. Peningkatan fibrinogen pada COVID-19 berkorelasi dengan proses inflamasi dan kadar IL-6, namun pada kasus sangat berat dapat terjadi penurunan kadar fibrinogen sebagai akibat perburukan koagulopati.
Trombositopenia berhubungan dengan mortalitas pada pasien COVID-19. Semakin rendah jumlah trombosit maka tingkat mortalitas semakin tinggi.
Overt DIC merupakan kondisi ketika endotel vaskular, darah dan komponennya telah kehilangan kemampuan untuk mengompensasi dan mengembalikan homeostasis sebagai respon terhadap cedera. Hal ini bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan akibat trombosis dan/atau perdarahan.
Non-overt DIC merupakan kondisi cedera vaskulata klinis yang mengakibatkan beban berat pada sistem homeostasis, namun untuk suatu waktu cukup mencegah aktifasi inflamasi dan hemostatik lebih lanjut.
Respon pembekuan darah harus dikendalikan secara ketat untuk mencegah terbentuknya bekuan yang luas pada pembuluh darah. Pedoman terkini merekomendasikan pemberian antikoagulan profilaksis pada semua pasien COVID-19 di rumah sakit meskipun tanpa trombosis yang terdokumentasi atau kecurigaan mengalami trombosis. Pemberian antikoagulan pada pasien COVID-19 menunjukkan prognosis yang lebih baik.
Pemberian antikoagulan sebagai tromboprofilaksis dapat dipertimbangkan pada setiap pasien COVID-19 dengan:2,5
Pilihan jenis antikoagulan sebagai terapi profilaksis trombosis adalah Low Molecular-Weight Heparin (LMWH) atau Unfractionated Heparin (UH) jika LMWH tidak tersedia. Jenis antikoagulan penghambat faktor Xa seperti Fondaparinux dapat menjadi alternatif bila pasien alergi terhadap heparin atau mengalami HIT. Penggunaan Fondaparinux tidak menjadi pilihan utama pada pasien COVID-19 kritis, berkaitan dengan gangguan fungsi ginjal yang sering terjadi pada pasien yang tidak stabil.5
Rekomendasi dosis antikoagulan sebagai profilaksis trombosis bersifat dinamis, bahkan setiap institusi atau pedoman memiliki rekomendasi dosis yang berbeda-beda. American Society of Hematology (2021) lebih merekomendasikan pemberian antikoagulan dosis profilaksis dibanding dosis intermediet atau dosis terapi pada pasien COVID-19 dengan kondisi akut atau kritis yang belum terbukti mengalami tromboemboli vena.1,2
Hasil penelitian Randomized Controlled Trial (RCT) pada tahun 2021 juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara pemberian antikoagulan dosis intermediet dengan dosis profilaksis.6 Rekomendasi dosis terdapat pada Tabel 2.
Kondisi akut adalah pasien memerlukan perawatan di rumah sakit tanpa persyaratan dukungan klinis lanjutan seperti ICU. Contohnya pasien dengan dyspnea atau hipoksia ringan hingga sedang.
Kondisi kritis adalah pasien yang mengalami gagal nafas atau gagal jantung dan memerlukan perawatan di ICU. Contohnya pasien yang memerlukan dukungan hemodinamik, ventilator, dan Renal Replacement Therapy (RRT).
Berbeda dengan American Society of Hematology, Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi 3 (2020) merekomendasikan peningkatan dosis profilaksis antikoagulan pada pasien COVID-19 dengan kondisi kritis yang membutuhkan perawatan ICU. Jenis dan dosis antikoagulan pada pasien kritis tertera pada Tabel 3.
Keputusan untuk memberikan antikoagulan dengan dosis terapi harus berdasarkan penilaian klinis yang komprehensif, tidak hanya berdasarkan nilai laboratorium seperti D-dimer. Jika pasien COVID-19 yang mengalami emboli paru atau DVT tidak memiliki kontraindikasi, antikoagulan dosis terapi berupa Enoxaparin 1 mg/kg 2x sehari secara SC atau Heparin dengan dosis muatan 80 unit/kg secara IV bolus kemudian dilanjutkan dengan dosis 18 unit/kg/jam secara IV kontinyu harus diberikan. Monitoring APTT pasien untuk menyesuaikan dosis dengan target 1,5 – 2,5x kontrol.5 Penyesuaian dosis Heparin berdasarkan nilai APTT terdapat pada Tabel 4.
Pasien rawat jalan umumnya tidak memerlukan antikoagulan, kecuali bila pasien memiliki faktor risiko trombotik seperti riwayat Venous Thromboemboli (VTE) sebelumnya, baru menjalani pembedahan, trauma, atau imobilisasi. Pemberian terapi antikoagulan harus mempertimbangkan kondisi klinis. Jika terdapat indikasi, dapat menggunakan Rivaroxaban 10 mg sekali sehari selama 31-39 hari.2
Pemberian antikoagulan lanjutan setidaknya selama 3 bulan setelah pasien keluar rumah sakit dapat dipertimbangkan pada pasien COVID-19 yang mengalami VTE, memiliki risiko perdarahan rendah, dan jika tidak ada interaksi dengan obat-obatan COVID-19 lainnya seperti antivirus, antibiotik, steroid, dan obat lainnya.
Sebelum dan selama pemberian terapi antikoagulan harus memperhatikan:5
Kesimpulan
Antikoagulan sebagai tromboprofilaksis pada COVID-19 direkomendasikan pada pasien dengan derajat sedang hingga berat yang dirawat di rumah sakit untuk mencegah pembentukan thrombosis yang meluas. Perlu penilaian risiko pendarahan dan pemantauan tanda-tanda pendarahan selama pemberian antikoagulan untuk mencegah komplikasi pendarahan. Hingga saat ini penelitian RCT untuk mengetahui terapi antikoagulan yang optimal masih terus berlangsung.
PUSTAKA