Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Rhinosinusitis : Penyebab, Gejala, dan Cara Mengobati
September 8, 2020
Sindrom Koroner Akut, STEMI
November 27, 2020

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronis yang ditandai oleh adanya keterbatasan aliran udara dan gejala penapasan yang menetap, berhubungan dengan abnormalitas jalan napas dan/atau alveolus. Penyakit ini biasanya disebabkan oleh paparan signifikan partikel atau gas asing dan dipengaruhi pula oleh faktor host seperti perkembangan sel paru yang abnormal.1 Di Indonesia, PPOK merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian utama.2

Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi dan eksaserbasi, serta menurunkan angka kematian.1 Terapi pada PPOK sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, oleh karena itu Pharmacon edisi ini akan membahas tentang terapi PPOK berdasarkan pedoman GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) terbaru (2020).

Klasifikasi

PPOK dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan spirometri (nilai FEV1), tingkat mMRC (Modified British Medical Research Council), CAT (COPD Assessment Test), serta riwayat eksaserbasi. 1,3 Prinsip spirometri adalah mengukur volume udara di paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan setelah inspirasi maksimal atau disebut Forced Volume Capacity (FVC) dan volume yang dikeluarkan dalam waktu 1 detik, atau disebut Forced Expiratory Volume in one second (FEV1). FEV1 dan FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru. Pada pasien dengan fungsi paru normal, nilai FEV1 >70% FVC. Klasifikasi pada PPOK berdasarkan gejala dan FEV1  serta tingkat mMRC dapat dilihat pada Pharmacon edisi 66 (April 2015).Sedangkan skorCOPD Assesment Test (CAT) dari 0-40 dan dapat diakses melalui http://www.catestonline.org3

Terapi Farmakologi pada PPOK stabil1

Tujuan pengobatan PPOK stabil adalah mengurangi gejala, menurunkan risiko dan keparahan serangan/eksaserbasi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan awal PPOK didasarkan pada penilaian gejala dan periode serangan masing-masing individu berdasarkan skema ABCD pada Tabel 3.

Kriteria PPOK stabil3:

  • Pada gagal napas kronik, penderita tidak dalam kondisi gagal napas akut
  • Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis gas darah PCO2 <45 mmHg dan PO2 >60 mmHg
  • Dahak jernih tidak berwarna
  • Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
  • Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
  • Tidak menggunakan bronkodilator tambahan

Kelompok A

  • Semua pasien diberikan terapi bronkodilator, bisa berupa bronkodilator kerja singkat (short acting beta2 agonis (SABA) atau short acting antimuscarinic (SAMA)) atau kerja panjang (long acting beta2 agonis (LABA) atau long acting antimuscarinic (LAMA)). Terapi dilanjutkan bila ditemukan manfaat perbaikan gejala.

Kelompok B

  • Terapi awal menggunakan bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul dibandingkan bronkodilator kerja singkat. Pemilihan jenis obat bergantung pada persepsi pasien terhadap perbaikan gejala.
  • Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal menggunakan 2 bronkodilator
  • Jika penambahan bronkodilator kedua tidak memperbaiki gejala, sebaiknya diperiksa kemungkinan komorbiditas (seperti penyakit kardiovaskular, dan kanker paru) yang dapat menambah gejala dan memengaruhi prognosis.

Kelompok C

  • Terapi awal dengan bronkodilator kerja panjang tunggal (LAMA atau LABA). LAMA lebih unggul dibanding LABA dalam mencegah eksaserbasi, sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal kelompok ini.

Kelompok D

  • Pada umumnya, terapi awal menggunakan LAMA yang memiliki efek pada sesak napas dan eksaserbasi
  • Pada pasien dengan gejala yang lebih berat (skor CAT ≥20), khususnya dengan gejala sesak napas yang memberat dan keterbatasan aktivitas, direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA dan LAMA. Penelitian menunjukkan kombinasi tersebut lebih unggul dibandingkan obat tunggal.
  • Pada beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi LABA dan ICS. Kombinasi ini memiliki potensi terbesar menurunkan eksaserbasi pada pasien dengan nilai eosinofil darah ≥300 sel/μL. Kombinasi LABA dan ICS juga merupakan pilihan pertama pada pasien PPOK dengan riwayat asma.
  • ICS dapat menimbulkan efek samping seperti pneumonia, sehingga penggunaannya sebagai terapi awal hanya jika manfaat lebih besar dibandingkan risikonya.

Pengobatan Lanjutan PPOK1

1. Apabila respon baik dengan pengobatan awal, maka pengobatan dilanjutkan

2. Apabila tidak membaik:

  • Pertimbangkan kebutuhan untuk mengatasi sesak napas/keterbatasan aktivitas atau mencegah` eksaserbasi lebih lanjut. Gunakan algoritma eksaserbasi apabila target terapi adalah keduanya.
  • Lakukan penilaian respon, sesuaikan dan review ulang
  • Rekomendasi di bawah ini tidak bergantung pada penilaian ABCD saat diagnosis

Gejala eksaserbasi antara lain2:

  • Sesak bertambah
  • Produksi sputum meningkat
  • Perubahan warna sputum

Sesak napas

  • Pasien yang mengalami sesak napas menetap atau keterbatasan aktivitas dengan bronkodilator kerja panjang monoterapi, direkomendasikan menggunakan 2  bronkodilator. Apabila penambahan bronkodilator kerja panjang kedua tidak memperbaiki gejala, direkomendasikan penggunaan bronkodilator monoterapi kembali (step down). Penggantian alat inhaler atau jenis obat dapat dipertimbangkan.
  • Pasien yang mengalami sesak napas menetap atau keterbatasan aktivitas dengan kombinasi LABA dan ICS, dapat ditambahkan LAMA untuk eskalasi terapi (triple therapy). Sebagai alternatif, dapat dipertimbangkan penggantian kombinasi LABA dan ICS dengan kombinasi LABA dan LAMA apabila terdapat ketidaktepatan indikasi penggunaan ICS (sebagai contoh, ICS digunakan untuk mengatasi gejala tanpa adanya riwayat eksaserbasi, kurangnya respon dari penggunaan ICS atau adanya efek samping ICS.)
  • Pada kelompok manapun, adanya sesak napas karena penyebab lain (bukan PPOK) harus diinvestigasi dan diobati dengan tepat. Teknik inhalasi dan kepatuhan pasien harus dipertimbangkan sebagai penyebab respon terapi yang tidak adekuat.

Eksaserbasi

  • Pasien yang mengalami eksaserbasi menetap dengan penggunaan bronkodilator kerja panjang monoterapi, direkomendasikan eskalasi terapi ke kombinasi LABA dan LAMA atau LABA dan ICS. Kombinasi LABA dan ICS dapat dipilih pada pasien dengan riwayat asma. Jumlah eosinofil darah dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan yang lebih besar berespon baik terhadap ICS. Pasien dengan karakteristik 1 kali eksaserbasi per tahun dan jumlah eosinofil darah ≥300 sel/μL lebih cenderung merespon terhadap kombinasi LABA dan ICS. Pada pasien dengan ≥2 kali eksaserbasi sedang per tahun atau sedikitnya mengalami satu kali eksaserbasi berat yang membutuhkan rawat inap dalam tahun sebelumnya, kombinasi LABA dan ICS dapat diberikan apabila jumlah eosinofil ≥100 sel/μL.
  • Terdapat 2 rekomendasi alternatif pada pasien yang mengalami eksaserbasi lebih lanjut dengan penggunaan kombinasi LABA dan LAMA, yaitu:
    • Eskalasi terapi ke kombinasi LABA+LAMA+ICS. Respon yang baik dari penambahan ICS ditunjukkan pada pasien dengan jumlah eosinofil ≥100 sel/μL.
    • Tambahkan Roflumilast atau Azithromycin bila jumlah eosinofil <100 sel/μL.
  • Pasien yang mengalami eksaserbasi lebih lanjut dengan penggunaan LABA dan ICS, direkomendasikan eskalasi terapi ke kombinasi 3 macam obat dengan menambahkan LAMA. Sebagai alternatif, terapi dapat diubah menjadi kombinasi LABA dan LAMA, apabila tidak ada respon yang baik dari ICS, atau adanya efek samping ICS.
  • Pasien yang masih mengalami eksaserbasi dengan kombinasi LABA+LAMA+ICS:
    • Penambahan Roflumilast dapat dipertimbangkan pada pasien dengan prediksi nilai FEV1 <50% dan bronkitis kronik, khususnya jika mengalami minimal sekali perawatan di rumah sakit untuk sekali eksaserbasi dalam tahun sebelumnya.
    • Penambahan makrolida. Pilihan terbaik adalah Azithromycin, terutama pada mereka yang saat ini bukan perokok. Pertimbangkan juga perkembangan resistensi organisme.
    • Penghentian terapi ICS. Hal ini dapat dipertimbangkan apabila terdapat kurangnya laporan efikasi dan peningkatan risiko efek samping (termasuk pneumonia). Akan tetapi, pada pasien dengan jumlah eosinofil darah ≥300 sel/μL. memiliki kecenderungan yang lebih besar mengalami eksaserbasi lebih lanjut setelah penghentian ICS.

Daftar Pustaka

  1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (2020), Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2020 Report [Online]. Tersedia dalam: https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2019/11/GOLD-2020-REPORT-ver1.0wms.pdf. [Diakses 5 Mei 2020]
  2. Anonim. (2003) Penyakit Paru Obstruktif kronis (PPOK). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia [Online]. Tersedia dalam: http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf [Diakses 20 Juni 2020]
  3. Kristiningrum, E. (2019) Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi kronis (PPOK) [Online]. [Diakses 15 Juni 2020]

COPYRIGHT & DISCLAIMER

Comments are closed.