Suatu sore di beranda rumah, sepulang dinas, Ibu mulai memotong dan menyiram anggrek-anggrek koleksinya. Saya menghampiri beliau dan menyapanya. “Bagaimana di rumah sakit hari ini, Bu? Seru kah?”
“Eh kamu sudah pulang, Dik?”, balasnya, “Seru dong! Kan hari ini peringatan Hari Kartini. Di RKZ Surabaya perawat-perawat pada pake kebaya. Duuh…senang sekali Ibu melihatnya. Warna-warni, cantik-cantik.”
Seperti biasa binar matanya berpendar-pendar setiap bercerita tentang “anak-anaknya”, para perawat di RKZ Surabaya. Selain sebagai seorang ibu di rumah, Beliau juga adalah “Ibu” bagi semua perawat di RKZ Surabaya. “Pasien yang dilayani juga senang. Perawatnya tampil beda.”, lalu tawanya berderai.
“Lha Ibu juga mengenakan kebaya?”, tanya saya.
“Lho ya pakai to, Dik…Ibu kan juga nggak mau ketinggalan merayakan Hari Kartini.”, katanya sambil menggantungkan kembali salah satu pot anggreknya.
“Trus kok nggak sanggulan (memakai konde)?”, kejar saya separuh menggoda.
Setelah membersihkan tangannya, Beliau menjawab, “Kenapa Kartini-an selalu diidentikkan dengan sanggul dan kebaya? Padahal, kalau kamu gali lebih jauh, spiritualitas perjuangan Kartini, melebihi simbolisasi itu.”. Saya diam, mencerna kata-kata Ibu.
“Trus, perawatnya apa nggak malah ribet tuh, Bu….ya kebayaan, ya harus lari sana sini melayani pasien?”, akhirnya saya mencoba membelokkan percakapan dari topik yang berat.
Ibu lantas mengajak saya duduk di ruang tamu agar tetap bisa berbincang namun tidak melewatkan kehangatan sore itu. “Coba Ibu kasih tebakan kecil. Kalau bisa jawab, berarti kamu memang pintar.”, godanya, “Apa kamu tahu siapa tokoh perawat yang terkenal? Ibu Perawat Sedunia?”
Tentu tidak perlu waktu lama bagi saya untuk memikirkan nama Florence Nightingale. Betapa tidak, Nightingale-lah yang mempelopori ilmu keperawatan modern. Ia yang meletakkan dasar pembaruan ilmu keperawatan dengan mengutamakan kebersihan dan sanitasi di rumah sakit. Berkat kegigihannya menegakkan prinsip asuhan keperawatan, profesi perawat yang dulu dianggap profesi rendah, tidak terhormat (karena perawat bersentuhan dengan tubuh pasien yang terbuka, tidak terlindung pakaian), kotor (sebab dahulu rumah sakit adalah tempat yang dianggap kumuh dan kotor, sehingga orang lebih memilih memanggil dokter ke rumah), kini menjadi profesi yang penting dan dihargai. Kemauannya untuk belajar dan menularkan ilmunya telah melahirkan jutaan perawat handal di dunia.
“Nah, kira-kira menurut kamu, apa kesamaan Nightingale dengan Raden Ajeng Kartini?”, tanya Ibu lagi.
“Ah, Ibu…tadi katanya cuma tebakan kecil. Ini kenapa saya malah harus mikir sih?”, gerutu saya, merajuk.
Lagi-lagi Ibu tertawa, “Lho….kamu kan juga harus bisa menjawab, kamu kan perempuan juga, Dik. Anak seorang perawat lagi.”, Ibu tampaknya senang karena berhasil menggoda saya.
“Persamaan keduanya, selain sama-sama perempuan,…”, saya terdiam sesaat mencoba menyusun kata, “…adalah bahwa perjuangan keduanya untuk perempuan dan untuk kemanusiaan.”
Kali ini Ibu tersenyum puas, “Bagus.”, pujinya.
“Yang diperjuangkan oleh Nightingale maupun Kartini sebenarnya adalah nilai dalam kehidupan wanita. Ingat kan? Zaman ketika Nightingale masih muda, perawat itu profesi rendahan, hanya dilakukan oleh pria. Berkat kekerasan hatinya, sekarang perawat menjadi salah satu profesi pilihan, dibutuhkan, dan dicari. Bahkan saat ini, mayoritas perawat di dunia adalah perempuan. Begitu pula dengan Kartini. Keberaniannya bermimpi akan kesetaraan hak pria dan wanita lah yang mengantar kita, Ibu, kamu, dan juga wanita-wanita di Indonesia mampu menjadi apa saja dan berkontribusi secara aktif bagi kemajuan bangsa dan negara.”, tutur Ibu panjang lebar.
Ibu akhirnya meninggalkan saya sendiri di ruang tamu. Sambil mengagumi anggrek-anggrek yang bermekaran di beranda, saya merenung. Sesungguhnya, banyak korelasi antara Nightingale dan Kartini, antara profesi perawat dengan semboyan “habis gelap terbitlah terang”.
Nilai, yang kata Ibu tadi, diperjuangkan oleh Nightingale dan Kartini adalah harkat dan martabat. Tidak Cuma harkat dan martabat mereka sendiri, tetapi juga kaumnya. Kartini menabrak pakem, menghilangkan stigma bahwa wanita hanya sekedar “kanca wingking”, yang hanya boleh berada di belakang laki-laki. Tetapi bukan dengan cara yang spektakuler. Tidak, Kartini hanya berbekal pena dan kertas, serta keingintahuannya yang begitu menggebu yang mendorongnya untuk belajar banyak hal, menjadikan pemikirannya melampaui kaum di jamannya, menerbitkan terang bagi gelapnya belenggu pingitan. Sedangkan Nightingale, harkat dan martabat orang sakit lah yang diperjuangkannya. Betapa Nightingale memahami bahkan sebelum semua orang di zamannya mengerti, pentingnya memperlakukan pasien secara bermartabat. Keseriusannya menegakkan prinsip hygiene dan sanitasi, keinginannya untuk selalu belajar dan mencoba hal baru, menjadikannya pelita, penerang harapan prajurit yang kala itu terbaring sebagai korban perang untuk dapat selamat.
Peringatan Hari Kartini kemudian hanya identik dengan sanggul dan kebaya, sebagai simbol pingitan. Namun, sejatinya, apa yang diperjuangkan seorang Kartini bukan sekedar kesetaraan hak wanita. Perjuangan Kartini adalah juga menyangkut harga diri bangsa untuk memiliki penerus yang cerdas dan berkualitas, yang lahir dari rahim wanita-wanita yang juga mawas dan teredukasi. Wanita, dibebaskan dari kekelaman tradisi, bukan hanya supaya ia lebih leluasa berpakaian atau bersosialisasi. Lebih jauh, agar wanita bisa lebih leluasa belajar, berguru, ngangsu kawruh, mencerdaskan dirinya agar lahir pula anak-anak yang cerdas, yang dapat menjadi penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini. Agar wanita bebas menjadi dirinya sendiri, berkreasi, melenting tinggi berinovasi. Dan agar dalam menjalankan perannya, secara personal maupun professional, wanita tak gentar akan pilihan yang dihadapkan padanya: menyerah pada keadaan atau berjuang menembus kegelapan. Sama halnya dengan Nightingale yang menembus kegelapan lorong-lorong rumah sakit dengan lenteranya. Sama seperti Kartini yang dengan pena dan kertasnya, mendobrak “benteng adat” keraton.
Letupan bara perjuangan Kartini ini harusnya tidak hanya disimbolisasi dalam parade dan festival. Namun, dengan sedikit saja menyadari bahwa wanita itu berdaya. Sama seperti perawat-perawat di RKZ Surabaya yang saya sangka tadi akan kerepotan karena harus berdinas dengan kebaya dan kain panjang. Meski repot berkebaya, mereka tetap berdaya, tetap melayani, tetap mengutamakan orang lain, tetap merawat. Setia pada panggilannya sebagai perawat yang harus rela mendahulukan mereka yang dirawat adalah salah satu cara Merawat Ke-Kartinian.
Ah….Ibu, bisa saja memberi saya bahan pemikiran, gumam saya dalam hati. Saya meninggalkan beranda rumah, memunggungi senja yang telah menginspirasi saya menulis lebih dari sekedar bait puisi. (*)